22.4.09

KULIAH 2 KOMUNIKASI - MODEL-MODEL KOMUNIKASI

Model dapat dikatakan sebagai gambaran yang sistematis dan abstrak, yang erfungsi untuk menerangkan potensi-potensi tertentu yang berkaitan dengan beragam aspek dari suatu proses.

Menurut Littlejohn, teori adalah penjelasan sedangkan model adalah representasi dari suatu peristiwa komunikasi. Model komunikasi dapat digunakan untuk melihat unsur-unsur yang terlibat dalam proses komunikasi tanpa menjelaskan hubungan / interaksi unsur-unsur dari model tsb. Penjelasan mengenai hubungan unsur-unsur tsb dikemukakan dalam rumusan teori.

1. MODEL KOMUNIKASI INTRAPRIBADI BARNLUND
Komunikasi intrapribadi merupakan proses pengolahan dan penyusunan informasi melalui system syaraf yang ada di dalam otak kita, yang disebabkan oleh stimulus yang ditangkap oleh pancaindra. Proses berpikir adalah bagian dari proses komunikasi yang terjadi di dalam diri individu. Prilaku nonverbal sender berpengaruh positif, negative, atau netral bagi receiver.

2. MODEL KOMUNIKASI ANTARPRIBADI BARNLUND
Model komunikasi ini merupakan kelanjutan dari model komunikasi intrapribadi. Unsur tambahan di dalam proses komunikasi adalah pesan dan isyarat prilaku verbal. Pola dan bentuk komunikasi yang berlangsung antara 2 orang atai lebih sangat dipengaruhi oleh hasil komunikasi intrapribadi masing-masing individu.

3. MODEL STIMULUS RESPONS (S-R)
Model Stimulus Response adalah model komunikasi yang paling mendasar dan sederhana. Prilaku individu timbul karena kekuatan stimulus yang datang dari luar dirinya, bukan atas dasar motif dan sikap yang dimiliki.

4. MODEL LASSWELL
Model komunikasi Lasswell menjelaskan 5 unsur yang terlibat dalam peristiwa komunikasi, yaitu:
- sender
- message
- channel/media
- receiver
- effect

KULIAH 1 KOMUNIKASI - DEFINISI & KONSEP TEORI KOMUNIKASI

PEMAHAMAN TEORI KOMUNIKASI
Ilmu komunikasi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan social yang bersifat multidisipliner. Disebut multidisipliner karena pendekatan-pendekatan yang digunakan berasal dari dan menyangkut berbagai bidang keilmuan (disiplin) lainnya seperti sosiologi, psikologi, antropologi, politik, dsb. Sifat multidisipliner ini juga terlihat dari objek pengamatan dalam ilmu komunikasi yang sangat luas dan kompleks, menyangkut berbagai aspek social, budaya, ekonomi, dan politik dari kehidupan manusia.

Menurut Littlejohn, dalam bukunya “Theories of Human Communication”, secara umum dunia masyarakat ilmiah menurut cara pandang serta objek pokok pengamatannya dapat dibagi dalam 3 aliran pendekatan, yaitu pendekatan “scientific” (ilmiah-empiris); “humanistic” (humaniora-interpretatif).

Pendekatan scientific berlaku dalam ilmu-ilmu eksakta yang menekankan objektifitas dengan prinsip observasi dan konsistensi. Sedangkan pendekatan humanistic berhubungan dengan ilmu-ilmu social dan budaya yang menekan subjektifitas dengan prinsip partisipasi observasi & interpretasi. Pendekatan humanistic digunakan untuk mengkaji persoalan-persoalan yang menyangkut system nilai, seni, kebudayaan, sejarah, serta pengalaman pribadi manusia.

Gabungan dari kedua pendekatan tersebut melahirkan pendekatan ilmu pengetahuan social (social sciences), karena yang menjadi objek studi dalam ilmu pengetahuan social adalah kehidupan manusia.

Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan ilmu pengetahuan social (social science approach) ini kemudian secara umum terbagi lagi dalam 2 bidang, yaitu ilmu pengetahuan tingkah laku (behavioral science) dan ilmu pengetahuan social (social science). Behavioral science mengkaji tingkah laku manusia sebagai individu, sedangkan social science mengkaji interaksi antar manusia.

BIdang kajian ilmu komunikasi sebagai salah satu ilmu pengetahuan social, pada dasarnya difokuskan pada pemahaman tentang bagaimana tingkah laku manusia dalam menciptakan, mempertukarkan, dan menginterpretasikan pesan-pesan untuk tujuan tertentu.

KOMPONEN KONSEPTUAL TEORI KOMUNIKASI
1.SIMBOL
Komunikasi adalah pertukaran pikiran atau gagasan secara verbal (Hoben, 1954)
2. PENGERTIAN / PEMAHAMAN
Komunikasi adalah suatu proses memahami & dipahami oleh orang lain. Komunikasi merupakan proses yang dinamis & secara konstan berubah sesuai dengan situasi yang berlaku (Anderson, 1959)
3. INTERAKSI/HUBUNGAN/PROSES SOSIAL
Interaksi merupakan perwujudan komunikasi (Mead, 1963)
4. PENGURANGAN RASA KETIDAKPASTIAN
Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego (Burnlund, 1964)
5. PROSES
Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dsb, melalui penggunaan symbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka, dsb (Berelson & Steiner, 1964)
6. KEBERSAMAAN
Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang (monopoli) menjadi dimiliki dua orang atau lebih (Gode, 1959).

FUNGSI KOMUNIKASI DALAM DIMENSI KONSEPTUAL
1. KOMUNIKASI SOSIAL
Fungsi komunikasi sebagai komunikasi social mengindikasikan bahwa komunikasi penting dalam kehidupan manusia sehari-hari dalam hubungan atau interaksinya dengan individu-individu lain. Dengan berkomunikasi, individu dapat memiliki panduan untuk menafsirkan situasi apapun yang dihadapi. Komunikasi juga dapat memungkinkan individu untuk mempelajari & menerapkan strategi-strategi untuk mengatasi situasi problematic yang dihadapi.

2. KOMUNIKASI EKSPRESIF
Komunikasi ekspresif menyampaikan pesan atau emosi secara nonverbal. Misalnya, seorang ibu menunjukkan kasih sayang terhadap anaknya dengan membelai kepala anaknya. Seseorang dapat menyalurkan kemarahannya dengan berkacak pinggang, mengepalkan tangan, atau memelototkan matanya.
Di samping itu, emosi juga dapat tersalurkan melalui bentuk-bentuk seni seperti puisi, novel, lukisan, atau tarian.

3. KOMUNIKASI RITUAL
Komunikasi ritual termanifestasi dalam bentuk upacara-upacara adat atau aktifitas-aktifitas ritual dan spiritual. Misalnya, upacara kelahiran, khitanan, ulang tahun, pertunangan, ibadah, berdoa, membaca kitab suci, perayaan hari besar keagamaan, dsb.

4. KOMUNIKASI INSTRUMENTAL
Komunikasi instrumental memiliki beberapa tujuan umum, yaitu menginformasikan; mengajar; mendorong; mengubah sikap dan keyakinan; mengubah prilaku dan menggerakkan tindakan; serta menghibur

3 KERANGKA PEMAHAMAN KOMUNIKASI
1. KOMUNIKASI SEBAGAI TINDAKAN 1 ARAH
2. KOMUNIKASI SEBAGAI INTERAKSI
3. KOMUNIKASI SEBAGAI TRANSAKSI

19.4.09

KULIAH 1 ETHIC - PEMAHAMAN ETIKA & ESTETIKA

Mempelajari filsafat & etika sangat berguna untuk memahami bagaimana manusia berpikir & bertindak. Pemikiran & tindakan manusia sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh aliran filsafat yg dianutnya serta etika yang dipahaminya.

Ragam definisi filsafat:
1. Plato: filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencari kebenaran yg asli.
2. Aristoteles: filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, & estetika.
3. Imanuel Kant: filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi 4 persoalan, yaitu:
Apakah yang dapat kita ketahui?.......... Pertanyaan ini dijawab oleh metafisika.
Apakah yang boleh kita kerjakan?........... Pertanyaan ini dijawab oleh etika.
Sampai dimanakah pengharapan kita?......... Pertanyaan ini dijawab oleh agama.
Apakah manusia itu?............. Pertanyaan ini dijawab oleh antropologi.

Pengertian etika
Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos, yg berarti adapt istiadat (kebiasaan), perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan, cara berpikir.
Dalam kajian filsafat, etika merupakan bagian dari filsafat yang mencakup metafisika, kosmologi, psikologi, logika, hokum, sosiologi, ilmu sejarah, dan estetika.

Etika mempelajari asas2 tingkah laku, yaitu:
1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak-hak & kewajiban.
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku manusia.
3. Nilai mengenai benar salah, halal haram, sah batal, baik buruk dan kebiasaan2 yang dianut suatu golongan masyarakat.

Etika juga ilmu yang mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia, mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.

Frans Magnis Suseno: etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi & daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup agar ia menjadi baik.

KULIAH 2 ETHIC: HUBUNGAN ETIKA DENGAN ILMU PENGETAHUAN

HUBUNGAN ETIKA DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Apabila hendak berbicara tentang etika, maka harus dimulai dari bagaimana sebenarnya perkembangan pikiran manusia. Etika merupakan ilmu yang menyelidiki segala perbuatan manusia, kemudian menetapkan hukum baik atau buruk. Etika mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku. Etika juga mengantar individu kepada kemampuan untuk bertindak sesuai dengan apa yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sifat dasar etika adalah kritis, yaitu membuat individu dapat mengambil sikap yang rasional terhadap semua norma. Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggungjawab bagi masyarakat. Artinya, masing-masing bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri.

Etika tidak membahas kebiasaan masyarakat yang didasarkan pada adat istiadat yang terikat pada pengertian baik dan buruk tingkah laku manusia, karena adat istiadat terikat pada kondisi daerah, tempat dan geografis kedaerahan.
1. Hubungan Etika dengan Ilmu Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat yang meliputi struktur, stratifikasi, serta berbagai gejala social lainnya yang saling berkaitan.

Sosiologi digunakan untuk memahami etika???
Persamaan etika dan ilmu sosiologi adalah mempelajari dan mengupas masalah prilaku, perbuatan manusia, yang timbul dari kehendak yang disengaja.

Ilmu sosiologi mempersoalkan tentang kehidupan bermasyarakat. Etika melihat dari sisi tingkah laku manusia.

Hubungan kedua ilmu ini sangat erat, karena mempelajari perbuatan manusia yang timbul dari kehendak yang disengaja. Perbuatan manusia menjadi pokok persoalan etika, mendorong untuk mempelajari kehidupan bermasyarakat yang menjadi pokok persoalan sosiologi

Ilmu sosiologi merupakan bagian dari ilmu social, yaitu ilmu yang berhubungan dengan masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Hubungan etika dengan ilmu sosial bersifat kemasyarakatan, bukan saja karena etika berkaitan dengan kehidupan social, tetapi juga karena etika merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat.

Etika yang tumbuh dari proses kemasyarakatan menentukan batasan dari prilaku dalam kehidupan masyarakat. individu dilahirkan dalam suatu masyarakat disosialisasikan untuk menerima aturan-aturan sebagai standar tingkah laku yang benar dan yang salah.

2. Hubungan Etika dengan Ilmu Hukum
Hukum berkaitan dengan keadilan, yaitu menempatkan sesuatu secara proporsional.
Pokok pembicaraan etika dengan ilmu hukum adalah mengenai perbuatan manusia. Tujuan keduanya adalah mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaan manusia.

Etika memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat hal-hal yang buruk dan merugikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Sedangkan banyak perbuatan yang biasa dilakukan manusia, tidak diatur dalam ilmu hukum.

Ilmu hukum bukan suatu perintah dan bukan suatu larangan. Ilmu hukum hanya dapat menjatuhi hukuman kepada orang yang menyalahi perintah yang telah diatur dalam peraturan dan undang-undang.

3. Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dengan menggunakan pikiran.
Bidang kajian filsafat meliputi berbagai disiplin ilmu, yaitu:
metafisika: penyelidikan di balik alam yang nyata
kosmologi: penyelidikan tentang alam
logika: pembahasan tentang cara berpikir cepat
etika: pembahasan tentang tingkah laku manusia
teologika: pembahasan tentang ketuhananantropologi: pembahasan tentang manusia

Sebagai salah satu komponen dari filsafat, etika menitikberatkan pada pembahasan tentang manusia, sebagai makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat demikian tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.

Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya menjalani kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian pada berbagai cara untuk memperoleh makna hidup.

Manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud jika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang nilai dan norma dalam prilaku manusia. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu harus dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai cabang filsafat, etika menjadi refleksi tingkah laku manusia. Dengan demikian etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak sesuatu dengan tingkah laku bagus saja. Manusia harus bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat, apakah bertentangan atau membangun tingkah laku baik.

4. Hubungan Etika dengan Ilmu Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai suatu kesatuan jasmani dan rohani. Psikologi juga mempelajari segala sesuatu yang dapat memberikan jawaban tentang apa sebenarnya manusia, mengapa manusia berbuat sesuatu hal, apa yang mendorong melakukan suatu hal tertentu, bagaimana tingkah laku manusia.

Ilmu psikologi membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu psikologi dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang.

Ilmu psikologi merupakan pendahuluan bagi etika. Etika melihat dari segi apa yang sepatutnya dikerjakan manusia, psikologi meneropong dari segi apakah yang menyebabkan terjadinya perbuatan tersebut.
Psikologi juga dapat membimbing prilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

BIDANG – BIDANG ETIKA
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif menjelaskan kesadaran manusia melalui pengalaman. Secara deskriptif, pengalaman manusia dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa ada berbagai fenomena tingkah laku yang dapat digambarkan / diuraikan secara ilmiah.

Etika deskriptif melukiskan tingkah laku manusia dalam arti luas, misalnya adapt kebiasaan, anggapan-anggapan baik buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari tingkah laku manusia yang terdapat pada individu-individu tertentu.

Menurut George Moore, Etika deskriptif merupakan etika yang menelaah secara kritis & rasional tentang sikap & prilaku manusia, serta apa yang dikerjakan oleh setiap orang dalam hidupnya, sebagai sesuatu yang bernilai.

2. Etika Normatif / Etika Filsafat
Etika normative merupakan aturan yang mengarahkan secara nyata bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku. Etika normative menetapkan berbagai sikap & prilaku yang ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia, serta hal-hal buruk apa yang harus dihindari.

1.4.09

TEORI KETERGANTUNGAN MEDIA

Teori Ketergantungan Media (bahasa Inggris: Dependency Theory) adalah teori tentang komunikasi massa yang menyatakan bahwa semakin seseorang tergantung pada suatu media untuk memenuhi kebutuhannya, maka media tersebut menjadi semakin penting untuk orang itu [1]. Teori ini diperkenalkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur. Mereka memperkenalkan model yang menunjukan hubungan integral tak terpisahkan antara pemirsa, media dan sistem sosial yang besar.
Konsisten dengan teori-teori yang menekankan pada pemirsa sebagai penentu media, model ini memperlihatkan bahwa individu bergantung pada media untuk pemenuhan kebutuhan atau untuk mencapai tujuannya, tetapi mereka tidak bergantung pada banyak media dengan porsi yang sama besar.
Besarnya ketergantungan seseorang pada media ditentukan dari dua hal.
Pertama, individu akan condong menggunakan media yang menyediakan kebutuhannya lebih banyak dibandingkan dengan media lain yang hanya sedikit. Sebagai contoh, bila anda menyukai gosip, anda akan membeli tabloid gosip dibandingkan membeli koran Kompas, dimana porsi gosip tentang artis hanya disediakan pada dua kolom di halaman belakang, tetapi orang yang tidak menyukai gosip mungkin tidak tahu bahwa tabloid gosip kesukaan anda, katakanlah acara Cek dan ricek, itu ada, ia pikir cek dan ricek itu hanya acara di televisi, dan orang ini kemungkinan sama sekali tidak peduli berita tentang artis di dua kolom halaman belakang Kompas.
Kedua, persentase ketergantungan juga ditentukan oleh stabilitas sosial saat itu. Sebagai contoh, bila negara dalam keadaan tidak stabil, anda akan lebih bergantung/ percaya pada koran untuk mengetahui informasi jumlah korban bentrok fisik antara pihak keamanan dan pengunjuk rasa, sedangkan bila keadaan negara stabil, ketergantungan seseorang akan media bisa turun dan individu akan lebih bergantung pada institusi - institusi negara atau masyarakat untuk informasi. Sebagai contoh di Malaysia dan Singapura dimana penguasa memiliki pengaruh besar atas pendapat rakyatnya, pemberitaan media membosankan karena segala sesuatu tidak bebas untuk digali, dibahas, atau dibesar-besarkan, sehingga masyarakat lebih mempercayai pemerintah sebagai sumber informasi mereka.

TEORI KOMUNIKASI KLASIK: TEORI INFORMASI

Studi komunikasi dewasa ini telah banyak melahirkan berbagai macam teori yang masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Ada banyak teori tentang komunikasi. Berdasarkan kurun waktu dan pemahaman atas makna komunikasi, teori komunikasi semakin hari berkembang seiring berkembangnya teknologi informasi yang memakai komunikasi sebagai fokus kajiannya.Teori komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori komunikasi klasik melihat fenomena komunikasi tidak fragmatis. Artinya, komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang kompleks-tidak sesederhana yang dipahami dalam teori komunikasi klasik.Pendekatan dalam memahami komunikasi pun tidak hanya mengacu pada teori semata, tetapi juga memperhitungkan mazhab dan model apa yang dipakai. Mazhab yang dipakai antara lain mazhab proses dan semiotika. Namun, dalam paper ini saya tidak membahas teori kontemporer yang dianggap ‘pahlwan revolusioner’, tetapi saya mengajak anda untuk mengkaji lebih detail tentang salah satu teori komunikasi klasik yang dicetuskan oleh Shannon dan Weaver, yaitu teori matematis atau teori informasi yang berkembang setelah perang dunia II . Teori yang termasuk ke dalam tradisi sibernetik ini mengkaji bagaimana mengirim sejumlah informasi yang maksimum melalui saluran yang ada.Tentunya teori ini memiliki kelebihan dan kelemahan jika dibandingkan dengan teori-teori lainnya. Apakah teori ini masih relevan atau justru sudah tidak dapat disentuh sama sekali. Namun, kita tidak bisa menafikkan kontribusi Shannon dan Weaver dalam memberikan inspirasi ahli-ahli komunikasi berikutnya yang terus mengembangkan teorinya seperti Gerbner, Newcomb, Westley dan MacLean, dan lain-lain.

Teori Informasi atau Matematis
1. Konteks Sejarah
Salah satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori komunikasi selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis. Teori ini merupakan bentuk penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren Weaver (1949, Weaver. 1949 b), Mathematical Theory of Communication.Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan informatif: komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ini merupakan salah satu contoh gamblang dari mazhab proses yang mana melihat kode sebagai sarana untuk mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya (encoding dan decoding). Titik perhatiannya terletak pada akurasi dan efisiensi proses. Proses yang dimaksud adalah komunikasi seorang pribadi yang bagaimana ia mempengaruhi tingkah laku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek yang ditimbulkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi. Ia melihat ke tahap-tahap dalam komunikasi tersebut untuk mengetahui di mana letak kegagalannya. Selain itu, mazhab proses juga cenderung mempergunakan ilmu-ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan komunikasi.Karya Shannon dan Weaver ini kemudian banyak berkembang setelah Perang Dunia II di Bell Telephone Laboratories di Amerika Serikat mengingat Shannon sendiri adalah insiyiur di sana yang berkepentingan atas penyampaian pesan yang cermat melalui telepon. Kemudian Weaver mengembangkan konsep Shannon ini untuk diterapkan pada semua bentuk komunikasi. Titik kajian utamanya adalah bagaimana menentukan cara di mana saluran (channel) komunikasi digunakan secara sangat efisien. Menurut mereka, saluran utama dalam komunikasi yang dimaksud adalah kabel telepon dan gelombang radio.Latar belakang keahlian teknik dan matematik Shannon dan Weaver ini tampak dalam penekanan mereka. Misalnya, dalam suatu sistem telepon, faktor yang terpenting dalam keberhasilan komunikasi adalah bukan pada pesan atau makna yang disampaikan-seperti pada mazhab semiotika, tetapi lebih pada berapa jumlah sinyal yang diterima dam proses transmisi.

Penjelasan Teori Informasi Secara Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi
Teori informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang lewat melalui saluran atau media dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna pada pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang mendesain transmitter, receiver, dan code untuk memudahkan efisiensi informasi.
Sinyal Sinyal yang diterima(Model Komunikasi Shannon dan Weaver)
Jika dianalogikan dengan pesawat telepon, salurannya adalah kabel, sinyalnya adalah arus listrik di dalamnya, dan transmitter dan penerimanya adalah pesawat telepon. Dalam percakapan, mulut adalah transmitternya, sedangkan gelombang suara yang ke luar melalui saluran udara adalah sinyalnya, dan telinga adalah penerimanya.Shannon dan Weaver membuat model komunikasi yang dilihat sebagai proses linear yang sangat sederhana. Karakteristik kesederhanaanya ini menonjol dengan jelas. Mereka menyoroti masalah-masalah komunikasi (penyampaian pesan) berdasarkan tingkat kecermatannya.Sebagaimana yang dipakai dalam teori komunikasi informasi atau matematis, konsep tidak mengacu pada makna, akan tetapi hanya memfokuskan titik perhatiannya pada banyaknya stimulus atau sinyal.Konsep dasar dalam teori ini adalah entropi dan redundansi-konsep yang dipinjam dari thermodynamics. Kedua konsep ini saling mempengaruhi dan bersifat sebab akibat (kausatif). Di mana entropi akan sangat berpengaruh terhadap redundansi yang timbul dalam proses komunikasi.

Entropi
Entropi adalah konsep keacakan, di mana terdapat suatu keadaan yang tidak dapat dipastikan kemungkinannya. Entropi timbul jika prediktabilitas/kemungkinan rendah (low predictable) dan informasi yang ada tinggi (high information). Sebagai contoh ada pada penderita penyakit Aids. Pengidap Aids atau yang lebih sering disebut OHIDA tidak dapat dipastikan usianya atau kapan ia akan dijemput maut. Ada yang sampai delapan tahun, sepuluh tahun, bahkan sampai dua puluh tahun, masih bisa menjalani hidup sebagaimana orang yang sehat. Hal ini dikarenakan ajal atau kematian adalah sebuah sistem organisasi yang kemungkinannya sangat tidak dapat dipastikan.Dengan kata lain, semakin besar entropi, semakin kecil kemungkinan-kemungkinannya (prediktabilitas). Informasi adalah sebuah ukuran ketidakpastian, atau entropi, dalam sebuah situasi. Semakin besar ketidakpastian, semakin besar informasi yang tersedia dalam proses komunikasi. Ketika sebuah situasi atau keadaan secara lengkap dapat dipastikan kemungkinannya atau dapat diprediksikan-highly predictable, maka informasi tidak ada sama sekali. Kondisi inilah yang disebut dengan negentropy.

Redundansi
Konsep kedua yang merupakan kebalikan dari entropi adalah redundansi. Redudansi adalah sesuatu yang bisa diramalkan atau diprediksikan (predictable). Karena prediktabilitasnya tinggi (high predictable), maka informasi pun rendah (low information). Fungsi dari redundan dalam komunikasi menurut Shannon dan Weaver ada dua, yaitu yang berkaitan dengan masalah teknis dan yang berkaitan dengan perluasan konsep redundan itu sendiri ke dalam dimensi sosial.Fungsi redundansi apabila dikaitkan dengan masalah teknis, ia dapat membantu untuk mengatasi masalah komunikasi praktis. Masalah ini berhubungan dengan akurasi dan kesalahan, dengan saluran dan gangguan, dengan sifat pesan, atau dengan khalayak.Kekurangan-kekurangan dari saluran (channel) yang mengalami gangguan (noisy channel) juga dapat diatasi oleh bantuan redundansi. Misalnya ketika kita berkomunikasi melalui pesawat telepon dan mengalami gangguan, mungkin sinyal yang lemah, maka kita akan mengeja huruf dengan ejaan yang telah banyak diketahui umum, seperti charlie untuk C, alpa untuk huruf A, dan seterusnya. Contoh lain, apabila kita ingin mengiklankan produk kita kepada masyarakat konsumen baik melalui media cetak (koran, majalah, atau tabloid) ataupun elektronik (radio dan televisi), maka redundansi berperan pada penciptaan pesan (iklan) yang dapat menarik perhatian, sangat simpel, sederhana, berulang-ulang dan mudah untuk diprediksikan (predictable).Selain masalah gangguan, redundansi juga membantu mengatasi masalah dalam pentransmisian pesan entropik dalam proses komunikasi. Pesan yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan, lebih baik disampaikan lebih dari satu kali, dengan berbagai cara yang sekreatif mungkin.Fungsi kreatif redundansi ini juga bila dikaitkan dengan khalayak, akan sangat membantu sekali pada masalah jumlah dan gangguan pesan di dalamnya. Jika pesan yang ingin disampaikan tertuju pada khalayak yang besar dan heterogen, maka pesan tersebut harus memiliki tingkat redundansi yang tinggi, sehingga pesan yang disampaikan akan berhasil dan mudah dicerna. Sebaliknya, jika khalayak berada pada jumlah yang kecil, spesialis, dan homogen, maka pesan yang akan disampaikan akan lebih entropik.Contoh dari fungsi redundansi di atas misalnya pada pemaknaan seni populer (popular art) yang lebih redundan dari pada seni bercita rasa tinggi (highbrow art). Hal ini dikarenakan seni populer lebih mudah untuk dicerna dan dipahami oleh banyak khalayak dari pada seni bercita rasa tinggi di mana khalayak yang mengerti hanya beberapa golongan elit saja.Selain masalah di atas, konsep redundansi juga bisa diperluas hubungannya dengan konvensi dan hubungan realitas sosial masyarakat.
Redundansi dan KonvensiKonvensi adalah menyusun suatu pesan dengan pola-pola yang sama. Pengertian sederhananya dapat dipahami sebagai bentuk baku yang telah umum diterima sebagai pedoman. Sebagai contoh, dalam karya sastra lama ada yang disebut dengan pantun. Pantun merupakan salah satu bentuk karya sastra lama (klasik) yang memiliki karakteristik tersendiri. Cirinya antara lain berpola AB AB, artinya bunyi huruf terakhir dari dua baris terakhir pasti sama dengan bunyi dua huruf terakhir dua baris pertama. Contoh:
Jalan-jalan ke sawah LuntoKeliling jalan Batu SangkarTegaklah tikus berpidatoKucing mendengar habis bertengkar
Pada contoh pantun di atas, kita setidaknya dapat meramalkan bahwa baris ketiga dan keempat pasti memiliki bunyi yang sama dengan baris pertama dan kedua, walaupun kita belum mengetahui isi dan maknanya. Hal ini dikarenakan pantun menekankan pengulangan dan pola-pola yang bisa diramalkan. Sehingga ini bisa meningkatkan redundansi dan menurunkan entropi.Ketika berbicara masalah entropi dan redundansi pada masalah karya seni , kita mengetahui bahwa karya seni bukan merupakan hal yang statis dan kaku. Ia akan terus berubah dan bersifat dinamis seiring perkembangan nilai dan corak hidup masyarakat. Karya seni ada kalanya akan bersifat ‘nakal’ atau ‘nyeleneh’ dan melanggar konvensi-konvensi yang ada, sehingga menjadi entropik bagi khalayak yang ada di dekatnya. Namun, ia juga akan berusaha mengikis imej itu secara perlahan dengan membangun sendiri konvensi-konvensi baru yang awalnya hanya ada pada khalayak yang jumlahnya terbatas. Maka dengan sendirinya karya seni tadi akan diterima dan dipelajari secara luas, sehingga dapat meningkatkan redundansinya. Sebagai contoh, seni lukis tubuh (body paint) yang dahulu dianggap tabu sekarang dianggap sebagai hal yang biasa dan mempunyai nilai seni.
Teori informasi yang dikemukakan Shannon dan Weaver ini banyak menuai kritik . Salah satunya adalah ia tidak mnjelaskan konsep umpan balik (feedback) dalam model teorinya. Padahal dalam konsep analogi pesawat telepon yang ia kemukakan, konsep umpan balik sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan komunikasi. Hal ini dikarenakan teori yang ia kaji hanya melihat komunikasi sebagai fenomena linear satu arah.Teori informasi (matematis) yang ia kaji hanya melihat komunikasi dari faktor komunikator yang dominan. Padahal penerima sebagai komunikan pun adalah bagian dari proses komunikasi yang akan terlibat jika konsep umpan balik ia masukkan. Selain itu umpan balik juga justru bisa memberitahukan kegagalan dalam komunikasi. Sebagai contoh, ketika seseorang menelpon dan yang ditelepon tidak melakukan reaksi apapun, atau mungkin sinyal di udara lemah, maka reaksi diam penerima sebenarnya adalah umpan balik bagi sumber atau penelpon.Selain konsep umpan balik yang tidak diusung dalam teori informasi, sebenarnya, Shannon dan weaver juga tidak mengkaji detil tentang peranan medium (media) dalam teorinya. Ia hanya terfokus pada fungsi saluran atau transmitter. Padahal konsep medium tidak dapat dipisahkan dari konsep transmisi yang ia usung sebelumnya.Secara garis besar, jika dibandingkan dengan teori kontemporer, misalnya, interaksionisme simbolik, model teori Shannon dan Weaver ini terlalu sederhana. Padahal komunikasi terdiri dari banyak aspek seperti yang dikatakan Schramm sebagai area studi Multidisipliner. Ia akan selalu berkaitan dengan ilmu sosial, psikologi, kejiwaan, teknologi, bahkan perang. []

29.3.09

RUU PORNOGRAFI & ETIKA

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/17/01443310/ruu.pornografi.ganggu.etika.dan.estetika

RUU Pornografi Ganggu Etika dan Estetika

Jumat, 17 Oktober 2008 01:44 WIB
SEMARANG, JUMAT--Rancangan Undang Undang (RUU) Pornografi yang saat ini tengah bergulir dirasa bisa menganggu etika dan estetika seni, termasuk kesenian daerah di Indonesia yang beragam. "Karena itu rencana pemerintah untuk mengesahkan RUU Pornografi harus benar-benar jelas mengenai batas-batasnya. Sehingga setelah disahkan jangan sampai UU tersebut mengekang berkesenian masyarakat negeri ini," kata Widodo, M.Sn., dosen Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Semarang, Kamis.
Ia menambahkan, RUU Pornografi secara umum memang sangat bagus, yaitu usaha pemerintah guna membina moral bangsa Indonesia menuju kepada moral yang baik.
Namun, pada dasarnya masalah moral itu bukan diatur oleh negara, tapi moral itu kesadaran dari pribadi masing-masing, selain itu RUU ini bisa memecah kesatuan bangsa Indonesia, katanya. "Bangsa kita ini bangsa yg majemuk, bukan terdiri dari satu golongan saja. Jika dalam RUU tersebut terdapat butir-butir yang mengancam kesatuan bangsa ini, maka hendaknya perlu dikaji ulang," katanya.
Ia mengingatkan, bangsa Indonesia saat ini sangat rentan terhadap perpecahan. Begitu banyaknya perbedaan dan keberagaman yang merupakan salah satu kekayaan bangsa ini, semakin lama akan menjadi bumerang jika tidak ditangani dengan seksama, dan bijaksana.
Menghargai perbedaan merupakan salah satu cara yang cukup mudah untuk menghindari perpecahan yang akan terjadi. Caranya, dengan tidak menghakimi kaidah estetik orang lain dengan kaidah estetik diri sendiri, katanya.
Menurut Widodo, seharusnya bangsa Indonesia bersatu untuk mengatasi masalah krisis yang semakin terpuruk.
Masalah RUU Pornografi merupakan kepentingan beberapa pihak yang ingin memecah-belah persatuan yang sudah lama dijunjung tinggi oleh bangsa ini, katanya.
Kelompok-kelompok di belakang rencana pengesahan RUU Pornografi terlalu sektarian dan hanya melihat masalah dari sudut pandang sempit. Mereka hanya mempertimbangkan aspirasi kepentingan golongan umat beragama tanpa melihat kepentingan lain, katanya.
Jadi, RUU Pornografi perlu dikaji lebih lanjut, jangan sampai keberadaannya malah membuat konflik dan pada akhirnya timbul perpecahan.

PORNOGRAFI

http://filsafat-eka-wenats.blogspot.com/2007/01/pornografi-soal-etika-bukan-estetika.html


Pengantar Wacana
Filsafat merupakan wacana berkelanjutan, tidak pernah berhenti, tiada berujung tiada pula berakhir. Berangkat dari kegilaan atas kebenaran. Kegilaan terhadap tujuan kebahagiaan. Berangkat dari kekosongan menuju keberisian. Berangkat dari kepenuhan menuju kelangkaan. Berjalan dalam kelurusan tapi tidak mandeg dalam kebelokan. Tertawa dalam keseriusan tapi sekaligus sungguh dalam tawa girang. Berbaring dalam ketegakan, berdiri dalam keterdataran..........berjalan menuju kebenaran yang tak pernah mengenal istilah titik.


Thursday, January 4, 2007
Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika
BENARKAH penerbitan foto-foto pamer aurat sejumlah artis model yang dikritik dan diprotes masyarakat itu pornografi? Tidak benar, bantah yang diprotes dan para pendukungnya. Para artis model yang menyediakan tubuhnya dipotret, juru fotonya, yang menerbitkan foto-foto itu, yang mendukung penerbitannya, semua mengklaim, gambar-gambar itu karya seni. Apa Anda tidak menangkap keindahan pada tubuh terbuka dengan pose mana-suka itu berkat kreativitas pencahayaan dan pencetakan yang canggih?
Para pornokrat itu juga membela dari sudut kebebasan pers. Perintah instansi kepolisian menarik peredaran majalah yang memuat foto-foto yang dipersoalkan masyarakat dianggap sebagai pelanggaran langsung atas prinsip kebebasan pers. Sejumlah orang pers sendiri mendukung anggapan terakhir ini. Argumen-argumen membela penerbitan pornografi itu umumnya lemah, namun prinsipial karena menggunakan alasan estetika dan kebebasan pers.
Estetika modernis
Sebenarnya tak ada yang baru dalam kontroversi sekitar pornografi - dari kata Yunani porne artinya 'wanita jalang' dan graphos artinya gambar atau tulisan. Sudah dapat diduga bahwa masyarakat dari berbagai kalangan akan bereaksi terhadap penerbitan gambar-gambar yang dianggap melampaui ambang rasa kesenonohan mereka. Seperti biasanya pula, menghadapi reaksi masyarakat itu, para pornokrat membela dengan menuntut definisi, apa yang seni dan apa yang pornografi? Akan tetapi apa yang membedakan foto-foto buka aurat para artis model itu dengan lukisan perempuan telanjang. Affandi misalnya? Mengapa lukisan Affandi (misalnya Telanjang/ 1947 dan Telanjang dan Dua Kucing/1952) dianggap karya seni, sedang foto-foto pose panas Sophia Latjuba dan kawan-kawan dianggap pornografi? Padahal dibandingkan lukisan perempuan telanjang Affandi yang tubuhnya tampak depan tanpa terlindung sehelai benang pun, foto-foto menantang para artis itu tidak secara langsung memperlihatkan lokasi-lokasi vital-strategisnya!
Dari dalam teori estetika, teori tradisional "standar" akan menjawab, perbedaannya terletak dalam cara bagaimana sosok perempuan dengan ketelanjangannya itu diperlakukan atau ditangkap. Kata kuncinya di sini adalah apa yang disebut "pengalaman estetik" yang dirumuskan dalam 3-D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan, misalnya karya Affandi contoh kita atau ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap.
Dalam bahasa teori, lukisan perempuan telanjang Affandi menampilkan nilai intrinsik, dan merupakan tujuan pada dirinya sendiri, lukisan Affandi membangun situasi kontemplatif pada peminatnya. Sebaliknya foto-foto panas pada artis model itu menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, meningkatkan penjualan, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu, memaksa, dan seterusnya). Pernyataan pengasuh salah satu penerbitan itu "Kami punya segmen pasar sendiri", sudah menjelaskan ini.
Apakah lukisan perempuan telanjang Affandi tidak mungkin membangkitkan birahi yang melihatnya? Tentu saja mungkin dan bisa. Apabila itu terjadi, atau lukisan Affandi itu gagal sebagai karya seni, atau penonton itu sendiri belum cukup memiliki kesiapan, pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari melihat lukisan tersebut.
Disamping itu, sebagai karya representasional, seni lukis itu unik, sedang foto-foto perempuan model itu tidak unik. Orang dapat mencetak foto-foto para model itu seberapa pun banyaknya dengan mutu persis sama, tetapi mustahil menduplikasi lukisan telanjang Affandi tanpa kehilangan segala kualitas yang ada pada lukisan aslinya. Pada yang kedua perbanyakan bisa tetap dengan produksi, tetapi pada yang pertama perbanyakan hanya pada tingkat reproduksi. Namun seperti sudah disebutkan, itu adalah faham teori estetika standar dominan, yang kini disebut juga teori modernis. Sejak awal 1970-an faham estetika modernis itu sudah mendapat tantangan kuat dari aliran yang disebut post-modern (posmo) yang menolak pandangan estetika modernis itu.
Teori modernis, sebagai bagian dari pandangan filsafat kemajuan (progress) abad 19 yang menganggap sejarah sebagai proses kemajuan yang berlangsung linier, percaya pada peran besar seni dan seniman dalam yang disebutnya kemajuan sosial. Teori modernis dapat dianggap mencakup seni borjuis dan estetisme, dua tipologi terakhir dari empat tipologi Peter Burger yang dimulai dari Seni Sakral dan Seni Istana. Seni modern telah melepaskan diri dari institusi (gereja maupun istana), membangun wilayahnya sendiri dengan kedudukan seniman yang dianggap otonom.
Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya). Estetika modernis membuat pagar pemisah antara yang disebut seni murni (high art) dari yang biasa-biasa atau sekadar seni pop.
Tantangan posmodern
Posmodern menolak pandangan estetika modernis itu. Posmo membongkar pagar pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan sosial.
Bagi posmodern tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman klasik sampai ke mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Gambar-gambar perempuan telanjang, apakah lukisan, patung, foto-foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?
Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses penistaan martabatnya sendiri.
Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, bagi posmo tidak ditentukan oleh suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni untuk rakyat, yang lain barangkali memperjuangkan yang disebutnya humanisme universal dengan semboyan seni untuk seni. Semua aliran itu mengklaim kriterianya obyektif, tetapi sebenarnya tujuannya menyeragamkan ukuran saja.
Posmodern menolak penyeragaman. Bagi modernis kriteria estetik lebih diletakkan pada seniman, pada posmodern kriteria ada pada siapa saja. Memang kritik utama terhadap posmodern adalah relativismenya yang bahkan menjurus ke anarkisme.
Rambu etika dan justisia
Namun jelas sudah, baik estetika modernis maupun posmodern, sama-sama menolak pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmodern juga merekomendasikan pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun baru. Pornografi memang bukan masalah estetika, melainkan masalah etika.
Setiap masyarakat memiliki standar moralitas yang tanpa itu eksistensi masyarakat itu sendiri goyah atau bahkan berakhir. Moralitas pada dasarnya berfungsi melindungi baik dunia sosial bersama maupun dunia subyektif masing-masing individu. Tentu standar moralitas itu juga berkembang bersama perkembangan masyarakat pendukungnya. Potensi-potensi kreatif dalam masyarakat sewaktu-waktu akan tampil menawarkan alternatif, juga unsur-unsur luar akan ikut bertarung mendapatkan tempat berpijak dalam masyarakat.
Akan tetapi di pihak lain, masyarakat dan setiap anggotanya, berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekadar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti mempublikasikan gambar-gambar erotik dan pornografi), maupun yang dikhawatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata-hubungan-sosial yang masih diakui (misalnya tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada oleh masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya.
Dan justru karena merupakan masalah etika, pornografi tidak dapat berlindung di belakang kebebasan pers. Apa yang disebut kebebasan pers bukan kebebasan subyektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Artinya, kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya pada ruang sosial bersama.
Kebebasan pers merupakan hak yang sifatnya korelatif, hak untuk terealisasinya hak lain, yaitu hak warga untuk mendapat informasi serta hak menyatakan pendapat dan mengontrol kekuasaan, kekuasaan negara atau pemerintah, tetapi juga kekuasaan masyarakat, termasuk kekuasaan pers sendiri. Jadi dasar legitimasi kebebasan pers konstruktif, tidak bisa destruktif. Adalah konstruktif, dan karenanya absah, apabila kebebasan pers digunakan membongkar kasus perkosaan, tetapi adalah destruktif apabila kebebasan pers itu digunakan menggambarkan secara sensasional bagaimana perkosaan itu berlangsung.
Kata seorang pemikir, dalam diri setiap kita bertemu konflik kehendak dan hierarki kehendak, dan moralitas dapat memberi petunjuk menentukan prioritas kehendak yang tidak konflik dengan tata-nilai yang masih diakui absah dalam dunia sosial bersama. Tetapi di tangan yang tak kompeten, kebebasan pers memang rawan penyalahgunaan. Karena itu, di samping rambu etik, yang prinsip positifnya sudah dirumuskan sendiri dalam yang disebut kode etik pers, kebebasan pers memerlukan juga kawalan rambu-rambu yustisia.
Bur Rasuanto, pengarang, doktor dalam Filsafat Sosial.

ETIKA DALAM PENDIDIKAN

http://purwanto-unindra-bio2a.blogspot.com/2008/07/etika-dan-estetika-yang-berbudaya-dalam.html


etika dan estetika dalam pendidikan yang berbudaya
PENDIDIKAN merupakan sebuah indikator penting untuk mengukur kemajuan sebuah bangsa. Jika sebuah bangsa ingin ditempatkan pada pergaulan dunia dalam tataran yang bermartabat dan modern, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang memiliki relevansi dan daya saing bagi seluruh anak bangsa. Mengapa demikian? Karena pendidikan merupakan gerbang untuk memahami dunia sekaligus gerbang untuk menguasai pola pikir dan kultur spesifik di dalam pergaulan global.
Dalam perspektif politik pendidikan, seorang filosofi Yunani abad pertengahan mengatakan bahwa penaklukan dunia ditentukan oleh seberapa jauh pendidikan suatu bangsa dapat dicapai dan seberapa maju bangsa-bangsa bersangkutan menguasai ilmu pengetahuan. ini berarti sebagai simbol kemajuan peradaban bangsa, penguasaan ilmu pengetahuan menjadi sangat penting bahkan menjadian sebuah pra-kondisi imperatif bagi keunggulan sebuah bangsa. Dalam bahasa budaya, Geertz bahkan menganggap penguasaan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ekspresi kemajuan berpikir dan berperilaku sebuah bangsa.
Sebagai bagian tidak terpisah dari sistem kehidupan masyarakat, pembangunan pendidikan sekaligus juga menjadi indikator penting dari proses pembangunan karakter bangsa. Karena itu, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus merupakan upaya mengagungkan martabat dan perilaku bangsa,secara menyeluruh. Kemajuan-kemajuan pendidikan yang dicapai mencerminkan bagaimana bangsa tersebut menghargai dan melindungi martabatnya di antara pergaulan masyarakat dunia.
Dengan demikian, tidak berlebihan pula jika cara berpolitik dan sopan-santun di dalam pergaulan antarbangsa sangat dipengaruhi tingkat pendidikan yang dimiliki dan berhasil dicapai sehingga secara umum berpengaruh di dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat bangsa bersangkutan. Bahkan, taraf pendidikan yang dimiliki suatu bangsa dapat memberikan gambaran bagaimana sebuah Bangsa itu berkarakter dan berprilaku.
Tingkat pendidikan masyarakat dan terutama para pemegang kekuasaan secara semantik mempengaruhi bagaimana para penguasa memandang dan bersikap dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul. Inilah yang disebut di dalam politik pendidikan sebagai bagian perilaku santun yang menjadi kontrol penting etika kebijakan dalam pertarungan kepentingan politik yang terus mengalami dinamika.
Memartabatkan pendidikan tidak berarti menempatkan nilai etis pendidikan di atas tata nilai lainnya di dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi bahkan budaya. Memartabatkan pendidikan berarti memberikan nilai rasa estetis kolektif maupun individual pada sisi perilaku dan etika pergaulan yang lebih bermartabat.
Ini berarti bahwa di dalam konteks mengembangkan hubungan-hubungan antarindividu maupun kolektif penting menempatkan pendidikan yang mengandung nilai etis dan estetika secara benar dan berbudaya. Sebut saja Prancis, Jerman, Jepang atau Cina yang menempatkan diri pada jajaran penting pergaulan dunia karena menjadikan pendidikan sebagai bagian etis dalam pembangunan bangsanya dan menjadi ukuran penting dalam membangun relasi-relasi global dalam konteks kepentingan yang luas.
Secara umum, nilai etis pendidikan yang menjadi dasar penting pergaulan dunia yang tebih bermartabat tersebut pada gifirannya mengandung unsur-unsur nilai yang menempatkan bangsa bersangkutan sebagai bagian pergaulan dunia yang disegani bahkan seringkali dijadikan sebagai 'ikon' kemajuan bangsa-bangsa di dunia.
Meskipun demikian, tidak dipungkiri pula bahwa dominasi politik di dalam menentukan prioritas pembangunan nasional yang bersifat monologis seringkali menjadi sangat menentukan arah pengembangan dan karakter pendidikan yang direncanakan. Dan pada gilirannya menentukan arah pendidikannya berdasarkan kepentingan-kepentingan politis praktis.
Demikian juga dengan Bangsa Indonesia yang sedang berjuang menjadi bagian pergaulan bangsa-bangsa yang lebih global. Dalam konteks ini, berbagai upaya telah dilakukan terutama di dalam memperkuat karakter bangsa melalui pembangunan pendidikan nasional. Pengentasan kemiskinan dan wajib belajar sembilan tahun merupakan salah satu upaya penting dalam mengangkat martabat bangsa ini di mata internasional.
Keterbelakangan yang telah menghimpit Bangsa Indonesia selama berabad-abad telah menjadi pengalaman 'buruk' kita. Dengan demikian kita harus memacu pembangunan pendidikan yang lebih bermartabat. Karena hanya inilah cara kita agar dapat menjembatani dan menyatukan perbedaan karakter dan budaya bangsa yang sangat majemuk. Inilah cara kita membangun kembali citra kita yang berkarakter kuat sebagai bagian peradaban dunia yang memiliki nilai-nilai adiluhung sebagaimana termanifestasi di dalam lambang Negara Republik Indonesia.
Dari sisi politik, pendidikan merupakan jembatan menuju masyarakat demokratis yang meleburkan berbagai perbedaan kepentingan. Realitas ini dapat dilihat dari leburnya perbedaan kasta, derajat budaya atau perbedaan kepentingan politik ke dalam nilai-nilai komunikasi yang bersifat monologis nasionalistik. Untuk itu, pendidikan merupakan satu-satunya jalur yang dianggap mampu menjembatani perbedaan-perbedaan kultural di dalam keanekaragaman etnis dan budaya bangsa Indonesia.
Hal inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia lebih mampu memahami dirinya dan sekaligus merekatkan perbedaan-perbedaan dalam upaya mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia yang memiki kompleksitas kepentingan, nilai budaya, dan karakter masyarakat yang beragam.
Di samping itu, pendidikan juga harus mampu membangun identitas kultural bangsa yang lebih kuat sehingga dapat menempatkan bangsa ini sebagai bagian penting pergaulan dunia yang lebih luas. Di dalam konteks yang lebih global, nilai-nilai yang dibangun secara holistik akan merasuk ke dalam tata nilai dan pergaulan dunia yang lebih berkarakter. Untuk itu, di dalam kerangka memperkuat posisi tawar bangsa, maka perlu dukungan dari seluruh komponen bangsa termasuk di dalamnya adalah dukungan politik di dalam pembangunan pendidikan nasional yang lebih luas.
Penghargaan bidang pendidikan di dalam pergaulan global harus dimulai dari penghargaan yang diberikan oleh bangsa Indonesia sendiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa dan mau menghargai dirinya sendiri dan nilai-nilai komunikatif yang terkandung di dalam perilaku budayanya. Inilah satu satunya cara untuk memperkuat posisi tawar kita di dalam pergaulan global. Semoga apa yang kita cita-citakan dalam membangun pendidikan anak-anak bangsa ini dapat menempatkan kita pada tingkat pergaulan yang lebih bermartabat, berharkat, dan berkarakter.(*)

ETIKA, ETIKET, KODE ETIK, ESTETIKA

http://www.reformata.com/0248-etika-etiket-kode-etik-dan-estetika-.html

Etika, Etiket, Kode Etik, dan Estetika

Pdt. Poltak YP Sibarani, D.Th
HARUS diakui bahwa pengenalan dan pengertian masyarakat yang masih minim terhadap keberadaan etika sebagai suatu ilmu yang mandiri membuat etika seringkali diperbandingkan secara sama dengan istilah-istilah yang kelihatannya sama padahal
sama sekali berbeda sekalipun masih memiliki kaitan. Berbagai istilah seperti etiket, kode etik, dan estetika sering terdengar diganti dengan istilah etika. Di sinilah letak pentingnya kita memahami dan menggunakan berbagai istilah seperti ini secara maksimal dan proporsional, Pertama, perlunya memahami etiket.
Etiket adalah sesuatu yang seringkali atau secara serta merta dihubung-hubungkan dengan etika. Padahal, etika dengan etiket memiliki pengertian dan hakikat yang sama sekali berbeda. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk memahami pengertian etiket sehingga kita dapat menyusun secara tepat akan relasinya dengan etika. Relasi yang dimaksud di sini meliputi persamaan maupun perbedaannya.
Etiket berasal dari kata Perancis etiquette.
Etiket adalah perilaku yang dianggap pas, cocok, sopan, dan terhormat dari seseorang yang bersifat pribadi seperti gaya makan, gaya berpakaian, gaya berbicara, gaya berjalan, gaya duduk, dan gaya tidur. Namun, karena etiket seseorang menghubungkannya dengan pihak lain, maka etiket menjadi peraturan sopan santun dalam pergaulan dan hidup bermasyarakat.
Etiket menyangkut cara suatu perbuatan, kebisaaan, adat-istiadat, atau cara-cara tertentu yang dianut oleh sekelompok masyarakat dalam melakukan sesuatu. Contohnya sebuah etiket adalah memberi dengan tangan kanan. Sedangkan etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dikatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ – hal yang prinsip dan universal adalah ‘memberi’ yang merupakan norma tentang perbuatan itu sendiri. Berbeda dengan etiket dalam memberi, dalam etika mencuri merupakan sesuatu yang tidak etis, tidak perduli pakai tangan kanan atau tangan kiri.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan sosial. Maksudnya, jika tidak ada saksi atau orang maka peraturan (kebisaaan) tidak berlaku. Contohnya adalah ketika seseorang menaruh kakinya di atas meja sementara ia duduk di atas kursi dan orang lain sama-sama duduk dengannya, maka hal ini menjadi suatu perbuatan yang tidak beretiket. Namun, tindakan seperti itu tidak menjadi persoalan ketika tidak ada yang melihatnya atau ketika ia hanya duduk sendirian. Berbeda dengan etiket, etika tidak tergantung pada hadirnya orang lain. Melakukan aksi pencurian misalnya, adalah contoh pelanggaran nilai etika. Etiket juga dapat dipahami sebagai suatu kebiasaan, baik oleh perseorangan maupun oleh sekelompok masyarakat. Kebiasaan perseorangan, misalnya cara untuk memegang pena, makan siang atau malam (atau keduanya), cara makan, menulis dengan tangan kiri atau kanan, tata tertib pergaulan, dan cara perayaan pesta adalah contoh-contoh etiket sebagai suatu bentuk kebisaaan sosial atau adat tradisional
Etiket bersifat sangat relatif. Tidak sopan pada suatu kelompok masyarakat tertentu, bisa jadi tidak menjadi masalah pada kelompok masyarakat lain. Mendahak pada waktu makan merupakan pelanggaran terhadap etiket yang bersifat relatif, sementara membunuh atau mencuri merupakan pelanggaran terhadap etika yang bersifat absolut. Itulah sebabnya, di mana pun dan kapan pun membunuh dan mencuri merupakan hal yang dipersalahkan. Etiket lebih berhubungan dan melihat hal-hal yang bersifat lahiriah atau penampilan fisik, sementara etika lebih bersifat batiniah. Itulah sebabnya, dalam rangka beretiket bisa saja seseorang bersikap munafik (musang berbulu domba), sementara dari sudut etika munafik merupakan sesuatu yang tidak etis. Secara kualitatif, etiket adalah sesuatu yang bersifat kurang serius jika dibandingkan dengan etika.
Pelanggaran etiket merupakan pelanggaran terhadap adat atau kebisaaan suatu masyarakat tertentu. Sebaliknya, etika bersifat sangat serius. Pelanggaran etika merupakan pelanggaran terhadap moralitas yang dianut oleh masyarakat tertentu.
Etiket juga berhubungan sangat erat dengan sopan santun (kedudukan keduanya dapat berganti tempat). Oleh sebab itu, sopan santun juga berbeda dengan etika. Beberapa bentuk perbedaan antara sopan santun dan etika adalah: Pertama, sopan santun hanya menekankan penyesuaian lahiriah kepada norma-norma. Sedangkan etika melibatkan baik lahiriah maupun batiniah. Kedua, sopan santun bertujuan memperlancar atau mengharmoniskan pergaulan sosial di antara manusia. Sedangkan etika bertujuan untuk menjadikan kehidupan manusia dan masyarakat lebih utuh dan bahkan lebih baik. Ketiga, sopan santun cenderung mengaburkan soal yang penting dan tidak penting. Ada kalanya sopan santun mengutamakan yang kurang penting. Misalnya, menjabat tangan seseorang yang kita sudah kenal atau akan kita kenal pada saat berjumpa, atau mengucapkan ‘terima kasih’ kepada orang lain yang memberikan sesuatu. Berbeda dengan sopan santun, etika lebih memperlihatkan soal-soal yang pengaruhnya lebih besar (baik atau buruk), mengenai kasih, kesetiaan, kedamaian, dan kejujuran.
Kedua, perlunya memahami kode etik.
Kode etik adalah suatu aturan main atau tata tertib dalam suatu kinerja, gugus tugas atau bisnis tertentu. Kode etik disusun dalam rangka menjaga suatu kualitas, reputasi, martabat, dan profesionalisme orang-orang yang terlibat dalam suatu departemen, denominasi, gereja, lembaga, sekolah, organisasi, institusi, paguyuban, atau profesi tertentu. Jumlah kode etik dengan demikian sangatlah banyak, misalnya: kode etik jurnalistik, kode etik kedokteran, kode etik kependetaan, kode etik pegawai pemerintah, kode etik perbankan, kode etik konseling, dan banyak lagi.
Berbeda dengan kedudukan etiket yang rendah jika dibandingkan dengan etika, tidak demikian dengan kode etik. Kode etik adalah suatu istilah atau konsep yang juga perlu dipelajari dalam studi etika. Keberadan ‘kode etik’ dapat diposisikan di antara etika dan etiket. Kode etik merupakan suatu ‘konsensus yang disepakati bersama dan bersifat mengikat para anggota atau komponen suatu kelompok tertentu, namun tidak mengikat pihak lainnya. Itulah sebabnya kode etik bersifat institusional-terbatas.
Pelanggaran terhadap kode etik tentunya akan mendapat sanksi atau hukuman. Pada umumnya, pelanggaran terhadap kode etik tidak disamakan dengan pelanggaran etika atau hukum positif tertentu. Hukuman dapat berupa kecaman sosial-psikologis, dapat berupa penurunan atau penundaan kenaikan jabatan, pemecatan dari keanggotaan, denda dengan uang atau materi, atau diskors. Namun, ada kalanya pelanggaran kode etik juga sekaligus sebagai pelanggaran etika dan hukum positif.
Ketiga, perlunya memahami estetika. Estetika, dibandingkan dengan etiket dan kode etik, jauh lebih lemah kualitasnya jika direlasikan dengan etika. Estetika adalah suatu pandangan mengenai pantas atau tidak pantasnya sesuatu ditinjau dari sudut keindahan dan kegunaan. Estetika berhubungan dengan penggunaan secara tepat dan efisien semua assesoris tubuh atau tempat yang di dalamnya manusia berada. Estetika meliputi penggunaan warna, jenis pakaian (pesta atau perkabungan), model rambut, bentuk rumah, dekorasi panggung, pengaturan tempat duduk, dan lain-lain.
Estetika seseorang atau suatu kelompok masyarakat tertentu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan, kecerdasan, manajemen, pendidikan, bakat, seni, modernitas, temperamen dasar, pengalaman, dan falsafah hidup. Estetika lebih bersifat pribadi daripada bersifat umum. Hal inilah yang membuat estetika menjadi sangat lemah ‘kualitasnya’. Begitu lemahnya kualitas estetika, jika dibandingkan dengan etika, membuat hampir-hampir tidak ada yang dapat dihukum bagi yang melanggarnya. Namun, estetika adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipelajari dan dimiliki setiap orang secara jelas dan bertanggung jawab. Estetika pribadi juga membutuhkan sosialisasi terhadap orang lain agar tidak mengundang tanda tanya dan kesalahpahaman. Di sisi lain, estetika membutuhkan kemakluman atau perasaan maklum dari pihak lain.

25 April 2008

26.1.09

The Sexy Espresso.............


Caffè espresso or espresso is a concentrated coffee beverage brewed by forcing steam or hot water under pressure through finely ground coffee.
Espresso was developed in
Milan, Italy, in the early 20th century, but up until the mid-1940s it was a beverage produced solely with steam pressure. The invention of the spring piston lever machine and its subsequent commercial success changed espresso into the beverage as it is known today. With some espresso machines, espresso can now be produced with 0.82–1.8 MPa (8.2–18 atm; 120–265 PSI) of pressure.
The defining characteristics of espresso include a thicker consistency than
drip coffee, a higher amount of dissolved solids than drip coffee per relative volume, and a serving size that is usually measured in shots, which are between 25 and 30 ml (around 1 fluid ounce) in size. Many of espresso's chemical components quickly degrade by oxidation[citation needed]. The most distinguishing characteristic is "crema," a reddish-brown foam that floats on the surface and is composed of vegetable oils, proteins and sugars. Crema has elements of both emulsion and foam colloid.
As a result of the high-pressure brewing process, all of the
flavours and chemicals in a typical cup of coffee are concentrated. For this reason, espresso lends itself to becoming the base for other drinks, such as lattes, cappuccino, macchiato and mochas.
While there can be significant variation, on a per-volume basis, espresso contains approximately three times the
caffeine content of regular brewed coffee (1.700 g/l (50 mg per fluid ounce) of espresso versus 0.50–0.75 g/l (14–22 mg per ounce) for brewed coffee). Compared on the basis of usual serving sizes, a 30 ml (1 fluid ounce) shot of espresso has about half the caffeine of a standard 180 ml (6 fluid ounce) cup of American-style coffee, which varies from 80 to 130 mg.[1]

A modern espresso machine.

A manual espresso machine
Preparation of espresso requires an espresso machine. The act of producing a shot of espresso is termed "pulling" a shot. The term originates from lever espresso machines, which require pulling down a handle attached to a spring-loaded piston, forcing hot water through the coffee at the requisite pressure. To pull a shot of espresso, a metal filter-basket is filled with 7 to 10
grams (¼ to ⅓ ounce) of ground coffee for a single shot or 12 to 18 grams (⅜ to ⅝ ounces) for a double shot. The ground coffee is then tamped, using about 180 N (30–40 pounds) of force, evenly and rotationally applied, into a firm puck of coffee. The portafilter (or group handle) holds the filter-basket and is locked under the grouphead's diffusion block. When the brew process begins, pressurized water at 85–95 °C (185–203 °F) and approximately 900 kPa (130 psi; 9 bar) is forced into the grouphead and through the ground coffee in the portafilter. Water cooler than the ideal zone causes sourness; hotter than the ideal zone causes bitterness. High-quality espresso machines control the temperature of the brew water within a few degrees of the ideal. The serving temperature of espresso is significantly lower, typically around 60 to 70 °C (140 to 160 °F), owing to the small serving size and the cooling effects of the cup and of the pouring process.
This process produces a rich, almost syrupy beverage by extracting and
emulsifying the oils in the ground coffee. An ideal shot of espresso should take between 20 and 30 seconds to arrive on a professional-grade machine, timed from when the coffee begins to flow from the machine (unless the machine has a "preinfusion" stage, which may add about 7 seconds to the process). Varying the fineness of the grind, the amount of pressure used to tamp the grinds, or the pump pressure itself can be used to bring the extraction time into this ideal zone. Most prefer to pull espresso shots directly into a pre-heated demitasse or shot glass, to maintain the ideal temperature of the espresso and preserve all of its crema. Apart from the espresso made manually by a barista, espresso is also made by automatic machines in which the brewing process takes place with an espresso-brewer.
Freshly brewed espresso must be served or mixed into other coffee beverages immediately, or it will begin to degrade due to cooling and oxidation. Temperature and time of consumption are important variables that must be observed to enjoy an ideal espresso; it should be consumed within 2 minutes from when it is served if it not combined with milk or other liquid for a espresso based beverage.

Moka coffee is a type of espresso, though its texture and aroma can differ from an electric or manual lever espresso machine

[edit] Espresso roast
A common misconception about espresso is that it is a specific bean or
roast level. Any bean or roasting level can be used to produce authentic espresso. While some major North American chains claim dark roasts as their espresso roasts[citation needed], some of the winning blends used in the World Barista Championship have been what is classified as a medium, "City,” or "Full City" roast, with little or no visible surface oil on the beans.
The popularity of different levels of roast in espresso varies greatly. Espresso is typically made from a blend of beans roasted anywhere from very light to very dark. In Southern Italy, a darker roast is preferred, but in Northern Italy a medium roast is the more popular type[
citation needed]. A counter-trend to the "always dark" roasts of some major U.S. chains has accelerated in recent years. These roasters vary the roast level with the bean type, aiming to develop distinctive flavors from each.

Espresso is the main type of coffee in most of southern Europe, notably Italy, France, Portugal, and Spain. It is also popular throughout much of the rest of Europe and in Argentina, Brazil, and Cuba, and many parts of North America. In Australia and New Zealand, espresso accounts for nearly all of the commercial cafe, coffeehouse and restaurant coffee business.
In the United States,
Tampa's and Miami's influx of Cuban refugees brought their love of espresso with them although espresso consumption was limited largely to the Cuban community; see cafe con leche. With the rise of coffee chains such as Starbucks, Seattle's Best Coffee, Dunn Bros Coffee, Caribou Coffee, and others, espresso-based drinks rose in popularity in the 1990s in the United States, with the city of Seattle being generally viewed as the fount of the modern interest. In addition to the Italian style of coffee, these chains typically offer variations and innovations by adding syrups, whipped cream, flavour extracts, soy milk, and different spices to their drinks. Cities like San Francisco, New York, Philadelphia, Seattle, and Chicago have long traditions of espresso drinking, with the North Beach area in San Francisco being perhaps the most well known.
Espresso have become increasingly popular in recent years, in regions where "American Coffee" has been the main coffee for centuries. In northern Europe (Iceland, Finland, Sweden, Norway and Denmark), specialty coffee chains have emerged, selling various sorts of espresso from street corners and
high streets. Europeans have embraced espresso as one of their favorite drinks. Many companies now have espresso machines, to be used free of charge by their employees.
Home espresso machines have increased in popularity with the general rise of interest in espresso. Today, a wide range of home espresso equipment can be found in specialist kitchen and appliance stores, online vendors, and department stores.

[edit] Etymology and usage of the term

This section needs additional citations for verification.Please help improve this article by adding reliable references. Unsourced material may be challenged and removed. (December 2008)

This article or section contains weasel words, vague phrasing that often accompanies biased or unverifiable information. Such statements should be clarified or removed. (December 2008)
The origin of the term "espresso" is the subject of considerable debate. Although some Anglo-American dictionaries simply refer to "pressed-out" (rooted in the Latin origin of the word), "espresso,” much like the English word "express," conveys the sense of "just for you" and "quickly," both of which can be related to the method of espresso preparation.
"The words express, expres and espresso each have several meanings in English, French and Italian. The first meaning is to do with the idea of 'expressing' or squeezing the flavour from the coffee using the pressure of the steam. The second meaning is to do with speed, as in a train. Finally there is the notion of doing something 'expressly' for a person... The first Bezzera and Pavoni espresso machines in 1906 took forty-five seconds to make a cup of coffee, one at a time, expressly for you." (Bersten (cited below) p. 99)
In Portugal espresso is called "bica" (in
Lisbon) or "cimbalino" (in Porto), or just simply "café" (in full café expresso, Portuguese meaning coffee, which invariably means an espresso in all of Portugal, unless otherwise specifically stated).
Expresso is the form used in France, Spain (expreso), Portugal, and parts of the United States and Canada. It is a valid English word, a variant of espresso.
In an Italian coffee bar, as in much of Europe, ordering "a coffee" (un caffè in Italian), means ordering an espresso. In France, the term café is normally used as well, but the French café is usually dark roasted.[
citation needed]
The terms "espresso crema" or "
espresso crema effect" are sometimes used as analogue models for material scientific issues. E.g. surfaces of ancient ceramics can erode due to post-depositional processes resulting in a measureable chemical alteration and a physical increase of porosity which leads to an obvious surface brightening of an actual dark material[3].

[edit] Variations

A basic cup of espresso.
Affogato (It. "drowned"): Espresso served over gelato. Traditionally vanilla is used, but some coffeehouses or customers use any flavor.
Americano (It. "American"): Espresso and hot water, classically using equal parts each, with the water added to the espresso. Americano was created by American G.I.s during World War I who added hot water to dilute the strong taste of the traditional espresso.[4] Similar to a long black.
Black eye: A cup of drip coffee with two shots of espresso in it. (alternately a red-eye or Canadiano)
Bombón (Sp. "confection"): Espresso served with condensed milk. Served in Canary Islands.
Breve (It. "short"): Espresso with half-and-half.
Carajillo: (Sp. "Little kid"): Espresso with a shot of brandy, breakfast favorite in Spain for construction workers during winter.
Cappuccino: Traditionally, one-third espresso, one-third steamed milk, and one-third microfoam. Often in the United States, the cappuccino is made as a cafè latte with much more foam, which is less espresso than the traditional definition would require. Sometimes topped (upon request) with a light dusting of cocoa powder.
Corretto (It. "corrected"): coffee with a shot of liquor, usually grappa or brandy. "Corretto" is also the common Italian word for "spiked (with liquor)".
Con hielo (Sp. "with ice"): Espresso with sugar immediately poured over two ice cubes, preferred in Madrid during Summer.
Cortado (Sp./Port. "cut"): Espresso "cut" with a small amount of warm milk.
Cubano (Sp. "Cuban"): Sugar is added to the collection container before brewing for a sweet flavor, different than that if the sugar is added after brewing. Sugar can also be whipped into a small amount of espresso after brewing and then mixed with the rest of the shot. Sometimes called "Cafe tinto".
Doppio: (It. "Double") Double (2 fluid ounces) shot of espresso.
Espresso con Panna (It. "espresso with cream"): Espresso with whipped cream on top.
Flat white: a coffee drink made of one-third espresso and two thirds steamed milk with little or no foam. (Very similar to "latte", see entry for lattes below)
Iced coffee: Generally refers to coffee brewed beforehand, chilled, and served over ice. In Australia, Iced Coffee generally refers to Espresso chilled over ice and then mixed with milk and ice Cream, with some chains using Gelato in place of Ice Cream. In Italy, the Iced Coffee (Caffe Freddo) is pre-sweetened and served ice-cold, but never with ice. In the United States, instead, Iced Coffee is brewed on the spot and poured over ice. In Japan iced coffee is generally served only in summer.
Latte (It. "milk"): This term is an abbreviation of "caffellatte" (or "caffè e latte"), coffee with milk. An espresso based drink with a volume of steamed milk, served with either a thin layer of foam or none at all, depending on the shop or customer's preference.[citation needed]
Latte macchiato (It. "stained milk"): Essentially an inverted cafè latte, with the espresso poured on top of the milk. The latte macchiato is to be differentiated from the caffè macchiato (described below). In Spain, known as "Manchada" Spanish for stained (milk).
Long Black: Similar to an Americano, but with the order reversed - espresso added to hot water.
Lungo (It. "long"): More water (about 1.5x volume) is let through the ground coffee, yielding a weaker taste (40 ml). Also known as an allongé in French.
Caffè Macchiato (It. "stained"): A small amount of milk or, sometimes, its foam is spooned onto the espresso. In Italy it further differentiates between caffè macchiato caldo (warm) and caffè macchiato freddo (cold), depending on the temperature of the milk being added; the cold version is gaining in popularity as some people are not able to stand the rather hot temperature of caffè macchiato caldo and therefore have to wait one or two minutes before being able to consume this version of the drink. The caffè macchiato is to be differentiated from the latte macchiato (described above). In France, known as a "Noisette".
Mocha: Normally, a latte blended with chocolate. This is not to be confused with the region of Yemen or the coffee associated with that region (which is often seen as 1/2 of the blend "mocha java").
Red eye: A cup of drip coffee with one shot of espresso in it.
Ristretto (It. "restricted") or Espresso Corto (It. "short"): with less water, yielding a stronger taste (10–20 ml). Café serré or Café court in French.
Solo (It. "single") Single (1 fluid ounce) shot of espresso.
Wiener Melange (German: "Viennese blend") coffee with milk and is similar to a Cappuccino but usually made with milder coffee (e.g. mocha), preferably caramelised.

The Magic of "Red"

Love and War:

Red is hot. It's a strong color that conjures up a range of seemingly conflicting emotions from passionate love to violence and warfare. Red is Cupid and the Devil.

Nature of Red: A stimulant, red is the hottest of the warm colors. Studies show that red can have a physical effect, increasing the rate of respiration and raising blood pressure.
The expression seeing red indicates anger and may stem not only from the stimulus of the color but from the natural flush (redness) of the cheeks, a physical reaction to anger, increased blood pressure, or physical exertion.


Culture of Red: Red is power, hence the red power tie for business people and the red carpet for celebrities and VIPs (very important people).

Flashing red lights denote danger or emergency. Stop signs and stop lights are red to get the drivers' attention and alert them to the dangers of the intersection.

In some cultures, red denotes purity, joy, and celebration. Red is the color of happiness and prosperity in China and may be used to attract good luck.Red is often the color worn by brides in the East while it is the color of mourning in South Africa. In Russia the Bolsheviks used a red flag when they overthrew the Tsar, thus red became associated with communism. Many national flags use red. The red Ruby is the traditional
Fortieth Wedding Anniversary gift.

Using Red: Use the color red to grab attention and to get people to take action. Use red when you don't want to sink into the background. Use red to suggest speed combined with confidence and perhaps even a dash of danger. A little bit of red goes a long way. Small doses can often be more effective than large amounts of this strong color. Multiple shades of red and even pink or orange can combine for a cheerful palette.

Look at the use of the
Color Red on the Web to find which of the named colors in the red family are the most attention-grabbing, mysterious, friendly, sophisticated, or mentally stimulating.
Using Red with Other Colors: Although not normally considered an ideal coupling, in combination with
green, red is a Christmas color — a joyful season.
Cool
blues provide contrast and tone down the heat of red. Light pinks and yellows are harmonizing colors that can work well with red if not too close in value such as dark red with a pale or golden yellow. Be careful using purple. It can be an elegant combination but too much could be overpowering.Add a dash of red to a soft but sophisticated pink and gray combo. For some countries, including the US, red, white, and blue is a very patriotic trio even if the shades of red and blue differ from those used in the flag.

Red Color Palettes: These
color palettes feature shades of red used with a variety of yellows, blues, greens, and neutrals.
Using Red in Other Design Fields:
Feng Shui Use of the Color Red
Language of Red: The use of red in familiar phrases can help a designer see how their color of choice might be perceived by others — both the positive and negative aspects.


Good red
Red letter day - important or significant occasion
Red carpet treatment - make someone feel special, treat them as if they are a celebrity
Roll out the red carpet - same as above
Red sky in the morning, sailor's warning; red sky at night, sailor's delight - pay attention to good and bad warning signs
Paint the town red - celebrate, go out partying
Red eye - an overnight flight Bad red
Seeing red - to be angry
Red herring - something that deceives or distracts attention from the truth
In the red - being overdrawn at the bank or losing money
Red flag - denotes danger, warning, or an impending battle


Red Words: These words are synonymous with red or represent various shades of the color red.
Scarlet, crimson, vermillion, carmine, maroon, burgundy, ruby, rose, madder, rouge, brick, blood red, blush, fire engine red, cinnabar, russet, rust, Venetian red, flame, Indian red, tomato.