http://www.reformata.com/0248-etika-etiket-kode-etik-dan-estetika-.html
Etika, Etiket, Kode Etik, dan Estetika
Pdt. Poltak YP Sibarani, D.Th
HARUS diakui bahwa pengenalan dan pengertian masyarakat yang masih minim terhadap keberadaan etika sebagai suatu ilmu yang mandiri membuat etika seringkali diperbandingkan secara sama dengan istilah-istilah yang kelihatannya sama padahal
sama sekali berbeda sekalipun masih memiliki kaitan. Berbagai istilah seperti etiket, kode etik, dan estetika sering terdengar diganti dengan istilah etika. Di sinilah letak pentingnya kita memahami dan menggunakan berbagai istilah seperti ini secara maksimal dan proporsional, Pertama, perlunya memahami etiket.
Etiket adalah sesuatu yang seringkali atau secara serta merta dihubung-hubungkan dengan etika. Padahal, etika dengan etiket memiliki pengertian dan hakikat yang sama sekali berbeda. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk memahami pengertian etiket sehingga kita dapat menyusun secara tepat akan relasinya dengan etika. Relasi yang dimaksud di sini meliputi persamaan maupun perbedaannya.
Etiket berasal dari kata Perancis etiquette.
Etiket adalah perilaku yang dianggap pas, cocok, sopan, dan terhormat dari seseorang yang bersifat pribadi seperti gaya makan, gaya berpakaian, gaya berbicara, gaya berjalan, gaya duduk, dan gaya tidur. Namun, karena etiket seseorang menghubungkannya dengan pihak lain, maka etiket menjadi peraturan sopan santun dalam pergaulan dan hidup bermasyarakat.
Etiket menyangkut cara suatu perbuatan, kebisaaan, adat-istiadat, atau cara-cara tertentu yang dianut oleh sekelompok masyarakat dalam melakukan sesuatu. Contohnya sebuah etiket adalah memberi dengan tangan kanan. Sedangkan etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dikatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ – hal yang prinsip dan universal adalah ‘memberi’ yang merupakan norma tentang perbuatan itu sendiri. Berbeda dengan etiket dalam memberi, dalam etika mencuri merupakan sesuatu yang tidak etis, tidak perduli pakai tangan kanan atau tangan kiri.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan sosial. Maksudnya, jika tidak ada saksi atau orang maka peraturan (kebisaaan) tidak berlaku. Contohnya adalah ketika seseorang menaruh kakinya di atas meja sementara ia duduk di atas kursi dan orang lain sama-sama duduk dengannya, maka hal ini menjadi suatu perbuatan yang tidak beretiket. Namun, tindakan seperti itu tidak menjadi persoalan ketika tidak ada yang melihatnya atau ketika ia hanya duduk sendirian. Berbeda dengan etiket, etika tidak tergantung pada hadirnya orang lain. Melakukan aksi pencurian misalnya, adalah contoh pelanggaran nilai etika. Etiket juga dapat dipahami sebagai suatu kebiasaan, baik oleh perseorangan maupun oleh sekelompok masyarakat. Kebiasaan perseorangan, misalnya cara untuk memegang pena, makan siang atau malam (atau keduanya), cara makan, menulis dengan tangan kiri atau kanan, tata tertib pergaulan, dan cara perayaan pesta adalah contoh-contoh etiket sebagai suatu bentuk kebisaaan sosial atau adat tradisional
Etiket bersifat sangat relatif. Tidak sopan pada suatu kelompok masyarakat tertentu, bisa jadi tidak menjadi masalah pada kelompok masyarakat lain. Mendahak pada waktu makan merupakan pelanggaran terhadap etiket yang bersifat relatif, sementara membunuh atau mencuri merupakan pelanggaran terhadap etika yang bersifat absolut. Itulah sebabnya, di mana pun dan kapan pun membunuh dan mencuri merupakan hal yang dipersalahkan. Etiket lebih berhubungan dan melihat hal-hal yang bersifat lahiriah atau penampilan fisik, sementara etika lebih bersifat batiniah. Itulah sebabnya, dalam rangka beretiket bisa saja seseorang bersikap munafik (musang berbulu domba), sementara dari sudut etika munafik merupakan sesuatu yang tidak etis. Secara kualitatif, etiket adalah sesuatu yang bersifat kurang serius jika dibandingkan dengan etika.
Pelanggaran etiket merupakan pelanggaran terhadap adat atau kebisaaan suatu masyarakat tertentu. Sebaliknya, etika bersifat sangat serius. Pelanggaran etika merupakan pelanggaran terhadap moralitas yang dianut oleh masyarakat tertentu.
Etiket juga berhubungan sangat erat dengan sopan santun (kedudukan keduanya dapat berganti tempat). Oleh sebab itu, sopan santun juga berbeda dengan etika. Beberapa bentuk perbedaan antara sopan santun dan etika adalah: Pertama, sopan santun hanya menekankan penyesuaian lahiriah kepada norma-norma. Sedangkan etika melibatkan baik lahiriah maupun batiniah. Kedua, sopan santun bertujuan memperlancar atau mengharmoniskan pergaulan sosial di antara manusia. Sedangkan etika bertujuan untuk menjadikan kehidupan manusia dan masyarakat lebih utuh dan bahkan lebih baik. Ketiga, sopan santun cenderung mengaburkan soal yang penting dan tidak penting. Ada kalanya sopan santun mengutamakan yang kurang penting. Misalnya, menjabat tangan seseorang yang kita sudah kenal atau akan kita kenal pada saat berjumpa, atau mengucapkan ‘terima kasih’ kepada orang lain yang memberikan sesuatu. Berbeda dengan sopan santun, etika lebih memperlihatkan soal-soal yang pengaruhnya lebih besar (baik atau buruk), mengenai kasih, kesetiaan, kedamaian, dan kejujuran.
Kedua, perlunya memahami kode etik.
Kode etik adalah suatu aturan main atau tata tertib dalam suatu kinerja, gugus tugas atau bisnis tertentu. Kode etik disusun dalam rangka menjaga suatu kualitas, reputasi, martabat, dan profesionalisme orang-orang yang terlibat dalam suatu departemen, denominasi, gereja, lembaga, sekolah, organisasi, institusi, paguyuban, atau profesi tertentu. Jumlah kode etik dengan demikian sangatlah banyak, misalnya: kode etik jurnalistik, kode etik kedokteran, kode etik kependetaan, kode etik pegawai pemerintah, kode etik perbankan, kode etik konseling, dan banyak lagi.
Berbeda dengan kedudukan etiket yang rendah jika dibandingkan dengan etika, tidak demikian dengan kode etik. Kode etik adalah suatu istilah atau konsep yang juga perlu dipelajari dalam studi etika. Keberadan ‘kode etik’ dapat diposisikan di antara etika dan etiket. Kode etik merupakan suatu ‘konsensus yang disepakati bersama dan bersifat mengikat para anggota atau komponen suatu kelompok tertentu, namun tidak mengikat pihak lainnya. Itulah sebabnya kode etik bersifat institusional-terbatas.
Pelanggaran terhadap kode etik tentunya akan mendapat sanksi atau hukuman. Pada umumnya, pelanggaran terhadap kode etik tidak disamakan dengan pelanggaran etika atau hukum positif tertentu. Hukuman dapat berupa kecaman sosial-psikologis, dapat berupa penurunan atau penundaan kenaikan jabatan, pemecatan dari keanggotaan, denda dengan uang atau materi, atau diskors. Namun, ada kalanya pelanggaran kode etik juga sekaligus sebagai pelanggaran etika dan hukum positif.
Ketiga, perlunya memahami estetika. Estetika, dibandingkan dengan etiket dan kode etik, jauh lebih lemah kualitasnya jika direlasikan dengan etika. Estetika adalah suatu pandangan mengenai pantas atau tidak pantasnya sesuatu ditinjau dari sudut keindahan dan kegunaan. Estetika berhubungan dengan penggunaan secara tepat dan efisien semua assesoris tubuh atau tempat yang di dalamnya manusia berada. Estetika meliputi penggunaan warna, jenis pakaian (pesta atau perkabungan), model rambut, bentuk rumah, dekorasi panggung, pengaturan tempat duduk, dan lain-lain.
Estetika seseorang atau suatu kelompok masyarakat tertentu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan, kecerdasan, manajemen, pendidikan, bakat, seni, modernitas, temperamen dasar, pengalaman, dan falsafah hidup. Estetika lebih bersifat pribadi daripada bersifat umum. Hal inilah yang membuat estetika menjadi sangat lemah ‘kualitasnya’. Begitu lemahnya kualitas estetika, jika dibandingkan dengan etika, membuat hampir-hampir tidak ada yang dapat dihukum bagi yang melanggarnya. Namun, estetika adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipelajari dan dimiliki setiap orang secara jelas dan bertanggung jawab. Estetika pribadi juga membutuhkan sosialisasi terhadap orang lain agar tidak mengundang tanda tanya dan kesalahpahaman. Di sisi lain, estetika membutuhkan kemakluman atau perasaan maklum dari pihak lain.
25 April 2008
29.3.09
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment