29.3.09

RUU PORNOGRAFI & ETIKA

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/17/01443310/ruu.pornografi.ganggu.etika.dan.estetika

RUU Pornografi Ganggu Etika dan Estetika

Jumat, 17 Oktober 2008 01:44 WIB
SEMARANG, JUMAT--Rancangan Undang Undang (RUU) Pornografi yang saat ini tengah bergulir dirasa bisa menganggu etika dan estetika seni, termasuk kesenian daerah di Indonesia yang beragam. "Karena itu rencana pemerintah untuk mengesahkan RUU Pornografi harus benar-benar jelas mengenai batas-batasnya. Sehingga setelah disahkan jangan sampai UU tersebut mengekang berkesenian masyarakat negeri ini," kata Widodo, M.Sn., dosen Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Semarang, Kamis.
Ia menambahkan, RUU Pornografi secara umum memang sangat bagus, yaitu usaha pemerintah guna membina moral bangsa Indonesia menuju kepada moral yang baik.
Namun, pada dasarnya masalah moral itu bukan diatur oleh negara, tapi moral itu kesadaran dari pribadi masing-masing, selain itu RUU ini bisa memecah kesatuan bangsa Indonesia, katanya. "Bangsa kita ini bangsa yg majemuk, bukan terdiri dari satu golongan saja. Jika dalam RUU tersebut terdapat butir-butir yang mengancam kesatuan bangsa ini, maka hendaknya perlu dikaji ulang," katanya.
Ia mengingatkan, bangsa Indonesia saat ini sangat rentan terhadap perpecahan. Begitu banyaknya perbedaan dan keberagaman yang merupakan salah satu kekayaan bangsa ini, semakin lama akan menjadi bumerang jika tidak ditangani dengan seksama, dan bijaksana.
Menghargai perbedaan merupakan salah satu cara yang cukup mudah untuk menghindari perpecahan yang akan terjadi. Caranya, dengan tidak menghakimi kaidah estetik orang lain dengan kaidah estetik diri sendiri, katanya.
Menurut Widodo, seharusnya bangsa Indonesia bersatu untuk mengatasi masalah krisis yang semakin terpuruk.
Masalah RUU Pornografi merupakan kepentingan beberapa pihak yang ingin memecah-belah persatuan yang sudah lama dijunjung tinggi oleh bangsa ini, katanya.
Kelompok-kelompok di belakang rencana pengesahan RUU Pornografi terlalu sektarian dan hanya melihat masalah dari sudut pandang sempit. Mereka hanya mempertimbangkan aspirasi kepentingan golongan umat beragama tanpa melihat kepentingan lain, katanya.
Jadi, RUU Pornografi perlu dikaji lebih lanjut, jangan sampai keberadaannya malah membuat konflik dan pada akhirnya timbul perpecahan.

PORNOGRAFI

http://filsafat-eka-wenats.blogspot.com/2007/01/pornografi-soal-etika-bukan-estetika.html


Pengantar Wacana
Filsafat merupakan wacana berkelanjutan, tidak pernah berhenti, tiada berujung tiada pula berakhir. Berangkat dari kegilaan atas kebenaran. Kegilaan terhadap tujuan kebahagiaan. Berangkat dari kekosongan menuju keberisian. Berangkat dari kepenuhan menuju kelangkaan. Berjalan dalam kelurusan tapi tidak mandeg dalam kebelokan. Tertawa dalam keseriusan tapi sekaligus sungguh dalam tawa girang. Berbaring dalam ketegakan, berdiri dalam keterdataran..........berjalan menuju kebenaran yang tak pernah mengenal istilah titik.


Thursday, January 4, 2007
Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika
BENARKAH penerbitan foto-foto pamer aurat sejumlah artis model yang dikritik dan diprotes masyarakat itu pornografi? Tidak benar, bantah yang diprotes dan para pendukungnya. Para artis model yang menyediakan tubuhnya dipotret, juru fotonya, yang menerbitkan foto-foto itu, yang mendukung penerbitannya, semua mengklaim, gambar-gambar itu karya seni. Apa Anda tidak menangkap keindahan pada tubuh terbuka dengan pose mana-suka itu berkat kreativitas pencahayaan dan pencetakan yang canggih?
Para pornokrat itu juga membela dari sudut kebebasan pers. Perintah instansi kepolisian menarik peredaran majalah yang memuat foto-foto yang dipersoalkan masyarakat dianggap sebagai pelanggaran langsung atas prinsip kebebasan pers. Sejumlah orang pers sendiri mendukung anggapan terakhir ini. Argumen-argumen membela penerbitan pornografi itu umumnya lemah, namun prinsipial karena menggunakan alasan estetika dan kebebasan pers.
Estetika modernis
Sebenarnya tak ada yang baru dalam kontroversi sekitar pornografi - dari kata Yunani porne artinya 'wanita jalang' dan graphos artinya gambar atau tulisan. Sudah dapat diduga bahwa masyarakat dari berbagai kalangan akan bereaksi terhadap penerbitan gambar-gambar yang dianggap melampaui ambang rasa kesenonohan mereka. Seperti biasanya pula, menghadapi reaksi masyarakat itu, para pornokrat membela dengan menuntut definisi, apa yang seni dan apa yang pornografi? Akan tetapi apa yang membedakan foto-foto buka aurat para artis model itu dengan lukisan perempuan telanjang. Affandi misalnya? Mengapa lukisan Affandi (misalnya Telanjang/ 1947 dan Telanjang dan Dua Kucing/1952) dianggap karya seni, sedang foto-foto pose panas Sophia Latjuba dan kawan-kawan dianggap pornografi? Padahal dibandingkan lukisan perempuan telanjang Affandi yang tubuhnya tampak depan tanpa terlindung sehelai benang pun, foto-foto menantang para artis itu tidak secara langsung memperlihatkan lokasi-lokasi vital-strategisnya!
Dari dalam teori estetika, teori tradisional "standar" akan menjawab, perbedaannya terletak dalam cara bagaimana sosok perempuan dengan ketelanjangannya itu diperlakukan atau ditangkap. Kata kuncinya di sini adalah apa yang disebut "pengalaman estetik" yang dirumuskan dalam 3-D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan, misalnya karya Affandi contoh kita atau ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap.
Dalam bahasa teori, lukisan perempuan telanjang Affandi menampilkan nilai intrinsik, dan merupakan tujuan pada dirinya sendiri, lukisan Affandi membangun situasi kontemplatif pada peminatnya. Sebaliknya foto-foto panas pada artis model itu menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, meningkatkan penjualan, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu, memaksa, dan seterusnya). Pernyataan pengasuh salah satu penerbitan itu "Kami punya segmen pasar sendiri", sudah menjelaskan ini.
Apakah lukisan perempuan telanjang Affandi tidak mungkin membangkitkan birahi yang melihatnya? Tentu saja mungkin dan bisa. Apabila itu terjadi, atau lukisan Affandi itu gagal sebagai karya seni, atau penonton itu sendiri belum cukup memiliki kesiapan, pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari melihat lukisan tersebut.
Disamping itu, sebagai karya representasional, seni lukis itu unik, sedang foto-foto perempuan model itu tidak unik. Orang dapat mencetak foto-foto para model itu seberapa pun banyaknya dengan mutu persis sama, tetapi mustahil menduplikasi lukisan telanjang Affandi tanpa kehilangan segala kualitas yang ada pada lukisan aslinya. Pada yang kedua perbanyakan bisa tetap dengan produksi, tetapi pada yang pertama perbanyakan hanya pada tingkat reproduksi. Namun seperti sudah disebutkan, itu adalah faham teori estetika standar dominan, yang kini disebut juga teori modernis. Sejak awal 1970-an faham estetika modernis itu sudah mendapat tantangan kuat dari aliran yang disebut post-modern (posmo) yang menolak pandangan estetika modernis itu.
Teori modernis, sebagai bagian dari pandangan filsafat kemajuan (progress) abad 19 yang menganggap sejarah sebagai proses kemajuan yang berlangsung linier, percaya pada peran besar seni dan seniman dalam yang disebutnya kemajuan sosial. Teori modernis dapat dianggap mencakup seni borjuis dan estetisme, dua tipologi terakhir dari empat tipologi Peter Burger yang dimulai dari Seni Sakral dan Seni Istana. Seni modern telah melepaskan diri dari institusi (gereja maupun istana), membangun wilayahnya sendiri dengan kedudukan seniman yang dianggap otonom.
Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya). Estetika modernis membuat pagar pemisah antara yang disebut seni murni (high art) dari yang biasa-biasa atau sekadar seni pop.
Tantangan posmodern
Posmodern menolak pandangan estetika modernis itu. Posmo membongkar pagar pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan sosial.
Bagi posmodern tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman klasik sampai ke mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Gambar-gambar perempuan telanjang, apakah lukisan, patung, foto-foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?
Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses penistaan martabatnya sendiri.
Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, bagi posmo tidak ditentukan oleh suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni untuk rakyat, yang lain barangkali memperjuangkan yang disebutnya humanisme universal dengan semboyan seni untuk seni. Semua aliran itu mengklaim kriterianya obyektif, tetapi sebenarnya tujuannya menyeragamkan ukuran saja.
Posmodern menolak penyeragaman. Bagi modernis kriteria estetik lebih diletakkan pada seniman, pada posmodern kriteria ada pada siapa saja. Memang kritik utama terhadap posmodern adalah relativismenya yang bahkan menjurus ke anarkisme.
Rambu etika dan justisia
Namun jelas sudah, baik estetika modernis maupun posmodern, sama-sama menolak pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmodern juga merekomendasikan pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun baru. Pornografi memang bukan masalah estetika, melainkan masalah etika.
Setiap masyarakat memiliki standar moralitas yang tanpa itu eksistensi masyarakat itu sendiri goyah atau bahkan berakhir. Moralitas pada dasarnya berfungsi melindungi baik dunia sosial bersama maupun dunia subyektif masing-masing individu. Tentu standar moralitas itu juga berkembang bersama perkembangan masyarakat pendukungnya. Potensi-potensi kreatif dalam masyarakat sewaktu-waktu akan tampil menawarkan alternatif, juga unsur-unsur luar akan ikut bertarung mendapatkan tempat berpijak dalam masyarakat.
Akan tetapi di pihak lain, masyarakat dan setiap anggotanya, berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekadar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti mempublikasikan gambar-gambar erotik dan pornografi), maupun yang dikhawatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata-hubungan-sosial yang masih diakui (misalnya tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada oleh masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya.
Dan justru karena merupakan masalah etika, pornografi tidak dapat berlindung di belakang kebebasan pers. Apa yang disebut kebebasan pers bukan kebebasan subyektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Artinya, kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya pada ruang sosial bersama.
Kebebasan pers merupakan hak yang sifatnya korelatif, hak untuk terealisasinya hak lain, yaitu hak warga untuk mendapat informasi serta hak menyatakan pendapat dan mengontrol kekuasaan, kekuasaan negara atau pemerintah, tetapi juga kekuasaan masyarakat, termasuk kekuasaan pers sendiri. Jadi dasar legitimasi kebebasan pers konstruktif, tidak bisa destruktif. Adalah konstruktif, dan karenanya absah, apabila kebebasan pers digunakan membongkar kasus perkosaan, tetapi adalah destruktif apabila kebebasan pers itu digunakan menggambarkan secara sensasional bagaimana perkosaan itu berlangsung.
Kata seorang pemikir, dalam diri setiap kita bertemu konflik kehendak dan hierarki kehendak, dan moralitas dapat memberi petunjuk menentukan prioritas kehendak yang tidak konflik dengan tata-nilai yang masih diakui absah dalam dunia sosial bersama. Tetapi di tangan yang tak kompeten, kebebasan pers memang rawan penyalahgunaan. Karena itu, di samping rambu etik, yang prinsip positifnya sudah dirumuskan sendiri dalam yang disebut kode etik pers, kebebasan pers memerlukan juga kawalan rambu-rambu yustisia.
Bur Rasuanto, pengarang, doktor dalam Filsafat Sosial.

ETIKA DALAM PENDIDIKAN

http://purwanto-unindra-bio2a.blogspot.com/2008/07/etika-dan-estetika-yang-berbudaya-dalam.html


etika dan estetika dalam pendidikan yang berbudaya
PENDIDIKAN merupakan sebuah indikator penting untuk mengukur kemajuan sebuah bangsa. Jika sebuah bangsa ingin ditempatkan pada pergaulan dunia dalam tataran yang bermartabat dan modern, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang memiliki relevansi dan daya saing bagi seluruh anak bangsa. Mengapa demikian? Karena pendidikan merupakan gerbang untuk memahami dunia sekaligus gerbang untuk menguasai pola pikir dan kultur spesifik di dalam pergaulan global.
Dalam perspektif politik pendidikan, seorang filosofi Yunani abad pertengahan mengatakan bahwa penaklukan dunia ditentukan oleh seberapa jauh pendidikan suatu bangsa dapat dicapai dan seberapa maju bangsa-bangsa bersangkutan menguasai ilmu pengetahuan. ini berarti sebagai simbol kemajuan peradaban bangsa, penguasaan ilmu pengetahuan menjadi sangat penting bahkan menjadian sebuah pra-kondisi imperatif bagi keunggulan sebuah bangsa. Dalam bahasa budaya, Geertz bahkan menganggap penguasaan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ekspresi kemajuan berpikir dan berperilaku sebuah bangsa.
Sebagai bagian tidak terpisah dari sistem kehidupan masyarakat, pembangunan pendidikan sekaligus juga menjadi indikator penting dari proses pembangunan karakter bangsa. Karena itu, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus merupakan upaya mengagungkan martabat dan perilaku bangsa,secara menyeluruh. Kemajuan-kemajuan pendidikan yang dicapai mencerminkan bagaimana bangsa tersebut menghargai dan melindungi martabatnya di antara pergaulan masyarakat dunia.
Dengan demikian, tidak berlebihan pula jika cara berpolitik dan sopan-santun di dalam pergaulan antarbangsa sangat dipengaruhi tingkat pendidikan yang dimiliki dan berhasil dicapai sehingga secara umum berpengaruh di dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat bangsa bersangkutan. Bahkan, taraf pendidikan yang dimiliki suatu bangsa dapat memberikan gambaran bagaimana sebuah Bangsa itu berkarakter dan berprilaku.
Tingkat pendidikan masyarakat dan terutama para pemegang kekuasaan secara semantik mempengaruhi bagaimana para penguasa memandang dan bersikap dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul. Inilah yang disebut di dalam politik pendidikan sebagai bagian perilaku santun yang menjadi kontrol penting etika kebijakan dalam pertarungan kepentingan politik yang terus mengalami dinamika.
Memartabatkan pendidikan tidak berarti menempatkan nilai etis pendidikan di atas tata nilai lainnya di dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi bahkan budaya. Memartabatkan pendidikan berarti memberikan nilai rasa estetis kolektif maupun individual pada sisi perilaku dan etika pergaulan yang lebih bermartabat.
Ini berarti bahwa di dalam konteks mengembangkan hubungan-hubungan antarindividu maupun kolektif penting menempatkan pendidikan yang mengandung nilai etis dan estetika secara benar dan berbudaya. Sebut saja Prancis, Jerman, Jepang atau Cina yang menempatkan diri pada jajaran penting pergaulan dunia karena menjadikan pendidikan sebagai bagian etis dalam pembangunan bangsanya dan menjadi ukuran penting dalam membangun relasi-relasi global dalam konteks kepentingan yang luas.
Secara umum, nilai etis pendidikan yang menjadi dasar penting pergaulan dunia yang tebih bermartabat tersebut pada gifirannya mengandung unsur-unsur nilai yang menempatkan bangsa bersangkutan sebagai bagian pergaulan dunia yang disegani bahkan seringkali dijadikan sebagai 'ikon' kemajuan bangsa-bangsa di dunia.
Meskipun demikian, tidak dipungkiri pula bahwa dominasi politik di dalam menentukan prioritas pembangunan nasional yang bersifat monologis seringkali menjadi sangat menentukan arah pengembangan dan karakter pendidikan yang direncanakan. Dan pada gilirannya menentukan arah pendidikannya berdasarkan kepentingan-kepentingan politis praktis.
Demikian juga dengan Bangsa Indonesia yang sedang berjuang menjadi bagian pergaulan bangsa-bangsa yang lebih global. Dalam konteks ini, berbagai upaya telah dilakukan terutama di dalam memperkuat karakter bangsa melalui pembangunan pendidikan nasional. Pengentasan kemiskinan dan wajib belajar sembilan tahun merupakan salah satu upaya penting dalam mengangkat martabat bangsa ini di mata internasional.
Keterbelakangan yang telah menghimpit Bangsa Indonesia selama berabad-abad telah menjadi pengalaman 'buruk' kita. Dengan demikian kita harus memacu pembangunan pendidikan yang lebih bermartabat. Karena hanya inilah cara kita agar dapat menjembatani dan menyatukan perbedaan karakter dan budaya bangsa yang sangat majemuk. Inilah cara kita membangun kembali citra kita yang berkarakter kuat sebagai bagian peradaban dunia yang memiliki nilai-nilai adiluhung sebagaimana termanifestasi di dalam lambang Negara Republik Indonesia.
Dari sisi politik, pendidikan merupakan jembatan menuju masyarakat demokratis yang meleburkan berbagai perbedaan kepentingan. Realitas ini dapat dilihat dari leburnya perbedaan kasta, derajat budaya atau perbedaan kepentingan politik ke dalam nilai-nilai komunikasi yang bersifat monologis nasionalistik. Untuk itu, pendidikan merupakan satu-satunya jalur yang dianggap mampu menjembatani perbedaan-perbedaan kultural di dalam keanekaragaman etnis dan budaya bangsa Indonesia.
Hal inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia lebih mampu memahami dirinya dan sekaligus merekatkan perbedaan-perbedaan dalam upaya mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia yang memiki kompleksitas kepentingan, nilai budaya, dan karakter masyarakat yang beragam.
Di samping itu, pendidikan juga harus mampu membangun identitas kultural bangsa yang lebih kuat sehingga dapat menempatkan bangsa ini sebagai bagian penting pergaulan dunia yang lebih luas. Di dalam konteks yang lebih global, nilai-nilai yang dibangun secara holistik akan merasuk ke dalam tata nilai dan pergaulan dunia yang lebih berkarakter. Untuk itu, di dalam kerangka memperkuat posisi tawar bangsa, maka perlu dukungan dari seluruh komponen bangsa termasuk di dalamnya adalah dukungan politik di dalam pembangunan pendidikan nasional yang lebih luas.
Penghargaan bidang pendidikan di dalam pergaulan global harus dimulai dari penghargaan yang diberikan oleh bangsa Indonesia sendiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa dan mau menghargai dirinya sendiri dan nilai-nilai komunikatif yang terkandung di dalam perilaku budayanya. Inilah satu satunya cara untuk memperkuat posisi tawar kita di dalam pergaulan global. Semoga apa yang kita cita-citakan dalam membangun pendidikan anak-anak bangsa ini dapat menempatkan kita pada tingkat pergaulan yang lebih bermartabat, berharkat, dan berkarakter.(*)

ETIKA, ETIKET, KODE ETIK, ESTETIKA

http://www.reformata.com/0248-etika-etiket-kode-etik-dan-estetika-.html

Etika, Etiket, Kode Etik, dan Estetika

Pdt. Poltak YP Sibarani, D.Th
HARUS diakui bahwa pengenalan dan pengertian masyarakat yang masih minim terhadap keberadaan etika sebagai suatu ilmu yang mandiri membuat etika seringkali diperbandingkan secara sama dengan istilah-istilah yang kelihatannya sama padahal
sama sekali berbeda sekalipun masih memiliki kaitan. Berbagai istilah seperti etiket, kode etik, dan estetika sering terdengar diganti dengan istilah etika. Di sinilah letak pentingnya kita memahami dan menggunakan berbagai istilah seperti ini secara maksimal dan proporsional, Pertama, perlunya memahami etiket.
Etiket adalah sesuatu yang seringkali atau secara serta merta dihubung-hubungkan dengan etika. Padahal, etika dengan etiket memiliki pengertian dan hakikat yang sama sekali berbeda. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk memahami pengertian etiket sehingga kita dapat menyusun secara tepat akan relasinya dengan etika. Relasi yang dimaksud di sini meliputi persamaan maupun perbedaannya.
Etiket berasal dari kata Perancis etiquette.
Etiket adalah perilaku yang dianggap pas, cocok, sopan, dan terhormat dari seseorang yang bersifat pribadi seperti gaya makan, gaya berpakaian, gaya berbicara, gaya berjalan, gaya duduk, dan gaya tidur. Namun, karena etiket seseorang menghubungkannya dengan pihak lain, maka etiket menjadi peraturan sopan santun dalam pergaulan dan hidup bermasyarakat.
Etiket menyangkut cara suatu perbuatan, kebisaaan, adat-istiadat, atau cara-cara tertentu yang dianut oleh sekelompok masyarakat dalam melakukan sesuatu. Contohnya sebuah etiket adalah memberi dengan tangan kanan. Sedangkan etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dikatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ – hal yang prinsip dan universal adalah ‘memberi’ yang merupakan norma tentang perbuatan itu sendiri. Berbeda dengan etiket dalam memberi, dalam etika mencuri merupakan sesuatu yang tidak etis, tidak perduli pakai tangan kanan atau tangan kiri.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan sosial. Maksudnya, jika tidak ada saksi atau orang maka peraturan (kebisaaan) tidak berlaku. Contohnya adalah ketika seseorang menaruh kakinya di atas meja sementara ia duduk di atas kursi dan orang lain sama-sama duduk dengannya, maka hal ini menjadi suatu perbuatan yang tidak beretiket. Namun, tindakan seperti itu tidak menjadi persoalan ketika tidak ada yang melihatnya atau ketika ia hanya duduk sendirian. Berbeda dengan etiket, etika tidak tergantung pada hadirnya orang lain. Melakukan aksi pencurian misalnya, adalah contoh pelanggaran nilai etika. Etiket juga dapat dipahami sebagai suatu kebiasaan, baik oleh perseorangan maupun oleh sekelompok masyarakat. Kebiasaan perseorangan, misalnya cara untuk memegang pena, makan siang atau malam (atau keduanya), cara makan, menulis dengan tangan kiri atau kanan, tata tertib pergaulan, dan cara perayaan pesta adalah contoh-contoh etiket sebagai suatu bentuk kebisaaan sosial atau adat tradisional
Etiket bersifat sangat relatif. Tidak sopan pada suatu kelompok masyarakat tertentu, bisa jadi tidak menjadi masalah pada kelompok masyarakat lain. Mendahak pada waktu makan merupakan pelanggaran terhadap etiket yang bersifat relatif, sementara membunuh atau mencuri merupakan pelanggaran terhadap etika yang bersifat absolut. Itulah sebabnya, di mana pun dan kapan pun membunuh dan mencuri merupakan hal yang dipersalahkan. Etiket lebih berhubungan dan melihat hal-hal yang bersifat lahiriah atau penampilan fisik, sementara etika lebih bersifat batiniah. Itulah sebabnya, dalam rangka beretiket bisa saja seseorang bersikap munafik (musang berbulu domba), sementara dari sudut etika munafik merupakan sesuatu yang tidak etis. Secara kualitatif, etiket adalah sesuatu yang bersifat kurang serius jika dibandingkan dengan etika.
Pelanggaran etiket merupakan pelanggaran terhadap adat atau kebisaaan suatu masyarakat tertentu. Sebaliknya, etika bersifat sangat serius. Pelanggaran etika merupakan pelanggaran terhadap moralitas yang dianut oleh masyarakat tertentu.
Etiket juga berhubungan sangat erat dengan sopan santun (kedudukan keduanya dapat berganti tempat). Oleh sebab itu, sopan santun juga berbeda dengan etika. Beberapa bentuk perbedaan antara sopan santun dan etika adalah: Pertama, sopan santun hanya menekankan penyesuaian lahiriah kepada norma-norma. Sedangkan etika melibatkan baik lahiriah maupun batiniah. Kedua, sopan santun bertujuan memperlancar atau mengharmoniskan pergaulan sosial di antara manusia. Sedangkan etika bertujuan untuk menjadikan kehidupan manusia dan masyarakat lebih utuh dan bahkan lebih baik. Ketiga, sopan santun cenderung mengaburkan soal yang penting dan tidak penting. Ada kalanya sopan santun mengutamakan yang kurang penting. Misalnya, menjabat tangan seseorang yang kita sudah kenal atau akan kita kenal pada saat berjumpa, atau mengucapkan ‘terima kasih’ kepada orang lain yang memberikan sesuatu. Berbeda dengan sopan santun, etika lebih memperlihatkan soal-soal yang pengaruhnya lebih besar (baik atau buruk), mengenai kasih, kesetiaan, kedamaian, dan kejujuran.
Kedua, perlunya memahami kode etik.
Kode etik adalah suatu aturan main atau tata tertib dalam suatu kinerja, gugus tugas atau bisnis tertentu. Kode etik disusun dalam rangka menjaga suatu kualitas, reputasi, martabat, dan profesionalisme orang-orang yang terlibat dalam suatu departemen, denominasi, gereja, lembaga, sekolah, organisasi, institusi, paguyuban, atau profesi tertentu. Jumlah kode etik dengan demikian sangatlah banyak, misalnya: kode etik jurnalistik, kode etik kedokteran, kode etik kependetaan, kode etik pegawai pemerintah, kode etik perbankan, kode etik konseling, dan banyak lagi.
Berbeda dengan kedudukan etiket yang rendah jika dibandingkan dengan etika, tidak demikian dengan kode etik. Kode etik adalah suatu istilah atau konsep yang juga perlu dipelajari dalam studi etika. Keberadan ‘kode etik’ dapat diposisikan di antara etika dan etiket. Kode etik merupakan suatu ‘konsensus yang disepakati bersama dan bersifat mengikat para anggota atau komponen suatu kelompok tertentu, namun tidak mengikat pihak lainnya. Itulah sebabnya kode etik bersifat institusional-terbatas.
Pelanggaran terhadap kode etik tentunya akan mendapat sanksi atau hukuman. Pada umumnya, pelanggaran terhadap kode etik tidak disamakan dengan pelanggaran etika atau hukum positif tertentu. Hukuman dapat berupa kecaman sosial-psikologis, dapat berupa penurunan atau penundaan kenaikan jabatan, pemecatan dari keanggotaan, denda dengan uang atau materi, atau diskors. Namun, ada kalanya pelanggaran kode etik juga sekaligus sebagai pelanggaran etika dan hukum positif.
Ketiga, perlunya memahami estetika. Estetika, dibandingkan dengan etiket dan kode etik, jauh lebih lemah kualitasnya jika direlasikan dengan etika. Estetika adalah suatu pandangan mengenai pantas atau tidak pantasnya sesuatu ditinjau dari sudut keindahan dan kegunaan. Estetika berhubungan dengan penggunaan secara tepat dan efisien semua assesoris tubuh atau tempat yang di dalamnya manusia berada. Estetika meliputi penggunaan warna, jenis pakaian (pesta atau perkabungan), model rambut, bentuk rumah, dekorasi panggung, pengaturan tempat duduk, dan lain-lain.
Estetika seseorang atau suatu kelompok masyarakat tertentu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan, kecerdasan, manajemen, pendidikan, bakat, seni, modernitas, temperamen dasar, pengalaman, dan falsafah hidup. Estetika lebih bersifat pribadi daripada bersifat umum. Hal inilah yang membuat estetika menjadi sangat lemah ‘kualitasnya’. Begitu lemahnya kualitas estetika, jika dibandingkan dengan etika, membuat hampir-hampir tidak ada yang dapat dihukum bagi yang melanggarnya. Namun, estetika adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipelajari dan dimiliki setiap orang secara jelas dan bertanggung jawab. Estetika pribadi juga membutuhkan sosialisasi terhadap orang lain agar tidak mengundang tanda tanya dan kesalahpahaman. Di sisi lain, estetika membutuhkan kemakluman atau perasaan maklum dari pihak lain.

25 April 2008